Langit Hitam Majapahit – Matahari Majapahit (1)

Langit Hitam Majapahit – Matahari Majapahit (1)

  Selang beberapa pekan lamanya, peristiwa pembunuhan Rukmasara mulai dilupakan orang. Namun gejolak baru muncul di daerah lain. Wilayah Sumur Welut geger dengan perampokan yang berulang kali menerpa rakyat kademangan. Faerah ini terletak di perbukitan yang dilambari banyak padang rumput. Sejauh mata memandang maka yang terlihat adalah permadani hijau yang segar. Kuda yang dipelihara oleh banyak orang di wilayah tersebut banyak menjadi incaran para pedagang dan orang-orang kaya. Hewan peliharaan mereka cukup tegar dan menampakkan susunan otot serta tulang yang luar biasa. Kuda-kuda yang berasal dari Sumur Welut telah digemari banyak orang termasuk kalangan petinggi prajurit  di kotaraja. Bukan keanehan jika wilayah ini kemudian menjadi sasaran orang-orang yang menginginkan percepatan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam masa itu, Majapahit menempatkan seseorang yang bernama Ki Guritna sebagai perwira di Sumur Welut. Para petinggi kerajaan, terutama Mpu Nambi, memandang jika Ki Guritna adalah pribadi yang tepat untuk wilayah Sumur Welut. Adalah kenyataan ketika senapati ini menjalankan dengan baik tugas yang diembannya, Banyak kebijakan dari Ki Lurah Guritna yang sesuai dengan watak dan perilaku rakyat di sana. Sebagian besar merasa cocok dengan watak Ki Guritna sebagai pemimpin prajurit tapi mampu menjadi pengayom selain akuwu Sumur Welut sendiri. Namun rasa nyaman dan ketenangan mulai terusik oleh pencurian yang terjadi berulang. Dalam pengamatan Ki Lurah Guritna, pencurian yang terkadang disertai perampasan itu tampaknya tidak dilakukan oleh orang-orang yang belum pengalaman. Telah beberapa kali terjadi perkelahian antara prajurit Majapahit dengan kawanan pencuri, tetapi penanggulangan dengan cara keras itu tidak mengurangi kejahatan. Bahkan seperti dianggap sebagai tantangan oleh para penyamun. Mereka semakin berani untuk bertindak di siang hari, tidak jarang kawanan ini sengaja melakukannya ketika para peronda berada di sekitar wilayah yang dijadikan sasaran. Bentrokan kerap terjadi, Ki Lurah pun sering terlibat dalam sejumlah pertarungan dengan gerombolan pencuri. “Apakah mungkin kita semua dapat memburu dan membakar habis sarang para penjahat itu, Ki Lurah?” tanya Akuwu Bayakarta pada suatu ketika. “Tuan Akuwu, saya tidak akan mampu melihat para pengawal kademangan berjibaku nyawa berkelahi melawan mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang sering bertingkah di luar batas. Mungkin orang-orang itu tidak lagi mempunyai hati ketika menyeret orang tua di jalanan karena membangkang perintah mereka,“ Ki Guritna menjawab dengan air muka tegang, “para penyamun itu menjadi tanggung jawab kami.” Akuwu Bayakarta menarik napas panjang. “Ya, saya dapat melihat kekejian mereka. Mereka begitu buas, kadang saya pikir mereka adalah sekelompok pemangsa lapar yang tidak menolak makan meski bertemu dengan bangkai.” Lurah prajurit Majapahit itu diam sejenak setelah akuwu berucap kata. Selintas pikiran singgah dalam benak Ki Guritna. Ia mempunyai dugaan yang mengaitkan rangkai peristiwa di Sumur Welut dengan kematian Rumaksara. “Tidak semudah itu menetapkan hubungan antar peristiwa. Aku tidak memiliki banyak bukti dan saksi mata. Kotaraja mempunyai dinding yang cukup tebal dan kipas besar untuk menghalau suara-suara yang melintasi batas kota.” Pemimpin prajurit ini lalu berdiam diri, cukup lama ia mengolah pikiran yang bermunculan dalam  kepalanya. Semasa kedua pemimpin Sumur Welut berbincang penuh perhatian untuk masalah yang terjadi di sekitar mereka, maka hal yang sama juga tengah berlangsung di kotaraja. Keadaan yang terjadi di Sumur Welut telah menjadi pembicaraan di Trowulan. Para pemimpin di Trowulan telah mengadakan pembicaraan khusus tentang itu. Laporan-laporan yang mereka dengar telah membawa mereka pada satu kesimpulan yang sama. Pada akhirnya, mereka sepakat berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi berulang kali di Sumur Welut merupakan pertanda bahaya bagi orang-orang yang berencana mengadakan hubungan baik dengan Majapahit. Oleh karena itu, Mpu Nambi sebagai penanggung jawab wilayah Sumur Welut dan sekitarnya menunjuk Ken Banawa untuk menyelesaikan persoalan yang membelit kademangan itu. Mpu Nambi meminta Ken Banawa untuk membentuk satuan khusus prajurit yang akan mengatasi keadaan di Sumur Welut. Pada hari yang cerah, di beranda belakang istana, salah seorang petinggi Majapahit tengah duduk bersama dengan Sri Jayanegara. “Saya tidak mempunyai pikiran buruk tentang rentetan perampokan yang belakangan ini terjadi,” kata Dyah Balayudha, salah seorang pejabat kerajaan yang mempunyai pengaruh luas di istana. “Tidak ada seorang pun, Paman. Termasuk aku. Tetapi banyak laporan yang mengatakan bahwa kejahatan di Sumur Welut adalah gelombang di permukaan,” ungkap Sri Jayanegara. “Kesimpulan yang aku yakini sebagai kebenaran.” “Tidak semua laporan akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan, Tuan,” kata Dyah Balayudha, ”sama halnya apabila kita mendapat banyak berita bohong lalu kita menilainya sebagai kebenaran. Diakui atau tidak, kita akan menanamnya dalam hati sebagai kebenaran karena kita mendengarnya dalam masa yang panjang.” “Anda benar, Paman. Tetapi laporan itu berdasarkan orang yang berbeda kesatuan dan aku tidak memberi perintah secara terbuka kepada setiap pemimpin prajurit. Sedikit orang yang tahu, termasuk Paman.” Sri Jayanegara menatap tajam Dyah Balayudha. Kemudian ia berkata lagi, ”Aku tidak mengerti dan belum membuat sebuah kesimpulan awal. Karena kemungkinan dapat saja terjadi, sekarang ini, tepat di hadapanku!” Kata-kata tajam meluncur deras dari bibir penguasa Majapahit. Seperti pedang yang menebas pinggang di medan tempur, Dyah Balayudha merasa bahwa perkataan itu sengaja ditujukan pada dirinya. Tetapi ia adalah orang yang berusia jauh lebih banyak dibandingkan raja muda yang duduk di singgasana Majapahit itu. “Engkau belum mengerti tentang arti mendirikan kerajaan. Kau tidak tahu rasa sakit dan perihnya telinga setiap mendengarmu memberi perintah,” Dyah Balayudha bisik dalam hatinya. Kegeraman itu dapat ia tutupi, Dyah Balayudha mampu menyamarkan raut muka menutupi perasaan yang sesungguhnya. “Tuan dapat melakukan perbandingan mengenai masalah ini. Dan saya pikir, saya tidak perlu tahu apabila Anda memang berencana untuk itu. Saya hanya seorang abdi! Bahkan Tuan sepenuhnya memahami apabila saya rela kehilangan nyawa bila Anda berkenan untuk memberi hukuman mati.” Sebagai seseorang yang mempunyai pikiran cerdas, Dyah Balayudha menyembunyikan wajah dengan menunduk dalam-dalam. Pandang mata Dyah Balayudha berkilat tetapi Sri Jayanegara tidak melihatnya. Senyum tipis terurai dari bibir Sri Jayanegara. “Paman, sudah pasti Anda mengerti bahwa aku tidak dapat begitu saja menjatuhi seseorang dengan hukuman mati tanpa sebab yang kuat. Lagipula, keberadaan Paman di sekitarku telah mendatangkan rasa aman. Meski begitu, aku tetap merasa perlu untuk mengutarakan isi hatiku.” “Dan memang seharusnya seperti itulah yang dimiliki oleh seorang raja seperti Anda. Tuan adalah seorang raja pewaris kerajaan besar. Nama Tuan lebih dahulu tiba, dibandingkan angin pada musim hujan, di daratan kering seperti Sumba dan Dompu. “Nama Tuan lebih megah terdengar di setiap garis pantai. Lebih dahsyat dari auman singa maupun harimau. Bagiku, Tuan adalah matahari Majapahit.”  Setangkup puja keluar dari lisan Dyah Balayudha. Ia tahu tempat terbaik di hati Sri Jayanegara. (bersambung)   [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Baca Juga" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"]      

Sumber: