Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (6)

Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (6)

Sekalipun mereka menggunakan senjata yang menjangkau jarak cukup jauh, tetapi tampaknya Bondan dan Mpu Gemana sedang menjajaki pertarungan jarak dekat, lingkaran mereka menjadi semakin rapat dengan gerakan semakin cepat. Ketika keduanya terlibat dalam pertempuran yang berjarak pendek, maka udeng itu tampak seperti ular naga yang meliuk-liuk dan mematuk dahsyat, terkadang berusaha membelit pergelangan tangan Mpu Gemana. Sedangkan Mpu Gemana sendiri sering berupaya menyusupkan mata rantainya ke celah pertahanan Bondan. Rasa kaget dan penasaran memenuhi dada Mpu Gemana terhadap ketinggian ilmu Bondan. Selain itu, ia juga ingin memuji lawannya yang berusia muda tetapi telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi serangannya. “Ia tidak jauh berbeda dengan Sampar. Tetapi kemampuannya sudah jelas berada jauh di atas Sampar. Keseimbangannya dalam menjaga pertahanan saat melakukan serangan benar-benar tampak berada di bawah kendali dan perhitungan yang matang. Luar biasa!” bisik hati Mpu Gemana menyeruak di tengah deru perkelahian yang semakin sengit dan tajam. Pergulatan di antara kedua orang yang berbeda usia cukup jauh itu menjadi semakin sulit dimengerti. Keduanya berputar saling membelit dan gerak tubuh mereka seolah hilang ditelan kegelapan. Sesekali mereka berbenturan di udara dalam jarak yang sangat dekat. Kadang-kadang saling melepaskan diri kemudian saling menerjang kembali dan berbenturan dengan keras.  Tetapi seakan-akan tidak terjadi akibat sama sekali dari sekian banyak benturan yang terjadi. Cakrawala yang mulai merekah merah menjadi saksi pertempuran dua lingkaran kecil itu. Mpu Gemana melontarkan ujung lainnya senjatanya dari balik punggungnya, mengarah wajah Bondan yang hanya berjarak kurang dari satu jengkal di depannya. Bondan tidak menyangka akan ada serangan maut itu, ia menjadi terkejut lalu melepaskan belitan udengnya, kemudian melentingkan tubuh ke belakang. Sehingga ia dapat menyelamatkan dirinya dari tumbukan dahsyat yang pasti dapat memecahkan kepalanya. Mpu Gemana kembali berdecak penuh kekaguman ketika ia melihat cara Bondan melepaskan diri dari rangkaian serangan itu. Begitu tangkas dan lincah! Sebuah serangan balasan dilancarkan Bondan dengan membuka jalur yang cukup berbahaya bagi dirinya. Merunduk lalu melesat ke samping, sementara ikat kepalanya mematuk bagian bawah ketiak Mpu Gemana yang terbuka. Serangan balasan ini benar-benar mengejutkan Mpu Gemana. Dari perhitungan Mpu Gemana ikat kepala itu seharusnya menyentuh lambung atau bagian dada sebelah atas. Namun gerakan Bondan ini seperti sebuah ejekan baginya. Ia kini merasa seolah-olah seorang murid yang baru belajar olah kanuragan. Meski begitu, gerakan Bondan telah mengundang bahaya besar! Mpu Gemana tidak membuang kesempatan saat pertahanan Bondan menjadi lemah. Kedua ujung rantainya dilontarkan dan bersamaan dengan itu, Mpu Gemana melompat ke arah Bondan yang sedang melayang. Bondan merasakan deru angin memburunya, seketika tangannya yang memegang udeng membuat gerakan satu lingkaran penuh menangkis satu ujung yang terdekat. Tangan kirinya segera mencabut keris yang terselip di pinggang dan dibenturkan pada ujung yang lain. Mpu Gemana kemudian meloncat ke samping dan tiba-tiba ia mengerakkan tangannya. Ujung senjatanya bergetar hebat dan dengan sangat cepat menyambar Bondan. Kali ini Bondan terkejut melihat ujung senjata yang telah meluncur ke matanya. Cepat ia menghindar sambil merendahkan tubuh. Bidikan senjata Mpu Gemana memang gagal menembus pertahanan Bondan namun dentuman terdengar persis di atas kepala Bondan. Suara ledakan yang menggetarkan gendang telinga. Namun, begitu ia mendapatkan keseimbangan, Bondan segera menyusupkan kerisnya ke dalam pertahanan lawannya. Tangan Bondan menjulur cepat menuju jantung Mpu Gemana. Mpu Gemana sekali lagi terkesiap dengan serangan balik dari Bondan. Tetapi pengalaman Mpu Gemana cukup membantu untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam perkelahian. Sambil menggeser selangkah ke samping, ia melepaskan satu tendangan ke lambung Bondan. Agaknya Bondan seperti sengaja menerima tendangan itu dengan siku kanannya. Kedua orang ini segera meloncat mundur setelah sama-sama menyadari tingkat masing-masing. “Siapakah sebenarnya anak ini?” pikir Mpu Gemana. “Gerak tubuhnya begitu lentur tetapi menyimpan satu kekuatan yang luar biasa! Seseorang dapat aku pastikan telah menggemblengnya dengan dasar yang sangat kuat. Dan aku yakin orang yang menjadi guru dari anak ini tentu bukan nama sembarangan disebut orang.” Tak butuh waktu yang lama bagi Mpu Gemana untuk mengukur kekuatan Bondan. Serangan Mpu Gemana kembali melanda Bondan . Kedua ujung senjatanya bergantian saling mematuk dan menyengat. Hingga pada satu ketika Mpu Gemana menarik tinju kanannya dan meraih satu ujung yang terbuang ke samping. Dalam keadaan melayang, ia dengan cepat dan penuh tenaga, melontarkan ujung itu tepat ke arah jantung Bondan. Hanya berjarak sekitar dua depa, rantai Mpu Gemana menjangkau tubuh Bondan. Bondan menahan satu ujung dengan keris yang diselipkannya ke lubang besi rantai Mpu Gemana. Di salah satu sisi tanah lapang itu, pertarungan Ken Banawa dengan Prana Sampar sudah berlangsung dalam beberapa jurus. Pertarungan Iantara keduanya terlihat imbang. Bersenjatakan keris yang ia peroleh dari pemberian seorang pertapa di lereng Gunung Wilis, Sampar memutar senjatanya mengurung Ken Banawa. Kerisnya berputar-putar dahsyat memburu Ken Banawa. Sekalipun begitu, Ken Banawa belum merasakan puncak dari kemampuan Prana Sampar. Namun karena sebuah keinginan untuk lekas menyelesaikan pertarungan ini, Ken Banawa pun mencoba keluar dari tekanan keris Prana Sampar. Perlahan Ken Banawa meningkatkan serangannya. Setiap ayunan pedangnya selalu dapat memotong pergerakan keris Prana Sampar. Pedang tipisnya bergetar hebat dan mulai menyusup ke celah pertahanan Prana Sampar. Ayunan pedang Ken Banawa mulai menguasai lawannya. Prana Sampar semakin lama semakin terdesak. Dengan segenap kemampuan yang  ada dalam dirinya, ia masih berusaha untuk memberi perlawanan keras. Namun begitu Ken Banawa mampu memaksa menembus pertahanan Prana Sampar. “Menyerahlah!” Ken Banawa tegas memberi perintah menyerah. “Persetan!” Prana Sampar semakin garang memutar kerisnya, mengayunkannya, menebas datar merobek lambung Ken Banawa. Namun usahanya itu seolah menemui dinding besi yang sedemikian tebal. Sebuah serangan beruntun dan menderu-deru saling berganti dengan kaki yang berputar cepat. Dalam sebuah peluang, tendangan Ken Banawa nyaris mengenai lutut Sampar. Prasa Sampar gesit menghindar meski ia sedikit terhuyung mundur. Dan ketika Sampar belum mengembalikan keseimbangan, Ken Banawa menyusulnya dengan satu tebasan pedang. Membenturkan keris adalah jalan keluar bagi Sampar agar berhasil menahan pedang Ken Banawa yang kurang sejengkal lagi akan mencapai lehernya. Hantaman pedang yang begitu kuat mampu membuat tubuh Sampar sedikit condong ke ke kiri, yang kemudian disusulkan tendangan yang sangat cepat dari Ken Banawa. Terdengar keluhan tertahan ketika kaki Ken Banawa berhasil menyentuh bahu lawannya dan sanggup menggoyahkan kuda-kudanya. Sampar dengan lutut kiri yang menyentuh tanah lantas melemparkan senjata rahasia ke arah selangkangan Ken Banawa. Ken Banawa dapat melihat arah pergerakan bahu kanan Sampar, maka ia segera membuang badan ke kanan. Lalu dengan kecepatan mengagumkan ia melompati bagian atas Sampar, Ken Banawa mendapat kesempatan untuk menusukkan pedang pada ubun-ubun Sampar. Sekalipun kepala Sampar lolos dari tikaman namun bahunya tergores agak dalam oleh tusukan pedang. Pertarungan yang tidak seimbang ini tampaknya akan mudah diakhiri oleh Ken Banawa. Namun ternyata Sampar tak mudah menyerah. Sampar yang secara beruntun menerima serangan Ken Banawa akhirnya menjadi gelap mata dan membabi buta melemparkan paku beracun ke Ken Banawa. Dalam usia menjelang senja, Ken Banawa belum kehilangan kecepatan dan kekuatan bertarung. Memutar-mutar pedang sehingga tubuhnya seperti tertutup sebuah perisai baja, putaran pedang Ken Banawa meluruhkan seluruh paku beracun Sampar ke tanah seperti daun-daun kering yang berguguran. Ken Banawa mendekat dan mengurung rapat lawannya. Jarak mereka kian rapat. Sampar mengalirkan tenaga ke seluruh bagian tubuhnya dan melawan sengit dengan kerisnya,. Ia menyadari bahaya yang  mengepungnya dari berbagai penjuru dan satu-satunya jalan keluar baginya adalah menyerang. Serangan demi serangan ia lontarkan dengan sungguh-sungguh, mengalir deras pada satu muara, Ken Banawa. “Menyerang adalah pertahanan terbaik. Hanya dengan itu aku dapat mengalahkannya!” Sampar memancang tekad kuat. (bersambung) [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Baca Juga" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"]      

Sumber: