Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (1)

Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (1)

Awan tipis berarak seperti kabut putih yang perlahan terhembus angin pegunungan. Matahari yang mulai menghangatkan tubuh pun perlahan menanjak langit. Jalan setapak di tepi Sungai Brantas itu terlihat lengang dan terkadang tak jemu menerbangkan debu yang tertiup angin. Seorang lelaki muda yang berperawakan sedang dan tidak begitu berotot terlihat menyusuri jalan setapak yang lengang itu. Tak lama kemudian Ia melihat sebuah perahu kayu terguncang hebat di permukaan air yang tenang. Terdengar dentang senjata beradu dan sambaran angin yang begitu kuat berasal dari bilik kecil di atas perahu. Ia lantas melemparkan sebilah kayu seukuran betis orang dewasa ke bagian tengah sungai, lalu melompat dan menjadikannya sebagai jejakan untuk mencapai perahu kayu itu. Sebatang pedang melesat keluar mengarah padanya sebelum kakinya mencapai bibir perahu. Menyadari bahaya  mengancam, Bondan lekas menekuk kaki kiri lalu menggulingkan tubuh di udara kemudian mendarat di geladak perahu. Satu sosok tubuh terpental keluar melewati pintu dan terjerembab jatuh di depan kaki Bondan. Bersamaan dengan itu seseorang melompat keluar dari bilik diiringi bentakan menggelegar. ”Enyahlah”! seru Prana Sampar, seseorang yang bertubuh kecil dengan rambut hitam sebahu dari lereng Gunung Wilis. Bondan membuka mulutnya, ”Tiba-tiba engkau mengusirku, Ki Sanak? Bukan satu kebetulan aku melewati jalan ini lalu melihat kalian bertempur.” “Itu bukan urusanmu. Aku minta engkau segera pergi dari sini. Meskipun begitu aku lihat engkau memiliki ilmu lumayan tinggi. Pergilah!” “Baiklah aku akan segera pergi. Tapi apakah tidak ada jalan lain selain kekerasan, Ki Sanak?” “Diam! Apakah engkau ingin aku lemparkan ke sungai ini?” Sementara itu tubuh yang terjatuh di depan Bondan sedikit beringsut dan agak sempoyongan Ia mencoba untuk berdiri. Tetapi ia menepiskan uluran tangan Bondan yang mencoba untuk membantunya tegak berdiri. “Minggirlah! Cepat pergi! Aku akan selesaikan urusan ini dengan setan itu,” desis perlahan keluar dari bibirnya. Bondan dengan menyimpan rasa penasaran tentang sebab perkelahian itu pun segera menjauhi kedua orang yang sedang bersabung nyawa. Sebenarnya ia ingin melerai kedua orang yang hampir lupa diri namun ia juga terkekang oleh rasa untuk tidak mencampuri urusan yang tidak diketahuinya. Melihat perkembangan sementara perkelahian itu memang tidak tampak sebagai pertarungan yang seimbang. Seseorang memang kalah beberapa tingkat dari lawannya. Bondan termangu-mangu karena ia sudah memperkirakan akhir dari perkelahian ini. Kebimbangan pun merasuki relung hatinya. Pertarungan yang tidak seimbang! Desah Bondan tak bersuara. Sekilas ia memandang sekeliling. Begitu sepi. Hanya mereka bertiga yang berada di lingkungan sedikit ditumbuhi pepohonan. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Baca Juga" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"] Majapahit di bawah Sri Jayanegara adalah kerajaan yang tidak banyak mengalami pergolakan. Namun, di kotaraja masih tersisa bara yang dapat meledak setiap saat. Kematian Lembu Sora dan Gajah Biru menyisakan persoalan yang rawan memicu pertikaian antar kelompok bangsawan. Tetapi sejauh ini, Sang Maharatu Jayanegara masih mampu mengendalikan gejolak yang terjadi di lingkaran de-katnya. Pertarungan kecil di tepi sungai yang disaksikan  Bondan adalah buah dari kepanjangan tangan yang begitu dahsyat dan membayangi langit kotaraja. Pada siang itu, orang yang berseragam prajurit mulai menata gerak persiapan untuk menyerang sambil berkata, ”Sampar, urusan ini tidak akan berhenti di sungai ini. Engkau akan menyesali perbuatanmu itu!” Sambil menggeram Prana Sampar menerjang maju, mendahului lawannya sambil melontarkan serangkaian pukulan. Wiratama masih sanggup menghindar dan  ia membalas serangan Prana Sampar tak kalah garang. Wiratama terdorong oleh keinginan kuat untuk segera membinasakan lawannya. Keduanya sama-sama memegang kendali perasaan, berkelahi untuk membunuh! Sekejap kemudian kedua orang itu terlibat dalam serangan yang bergantian. Keduanya melepaskan pukulan dan tendangan yang saling menyambar. Tubuh mereka saling berloncatan untuk menghindari serangan demi serangan yang dilontarkan lawannya. Perahu kecil itu kemudian bergolak hebat. Bondan segera melompat ke tepi sungai dan menyaksikan pertarungan dengan penuh perhatian. Ia dapat menyaksikan luka-luka yang diderita oleh orang bernama Wiratama itu tidak dapat dikatakan ringan, tetapi sama sekali tidak menghalangi Wiratama untuk memberikan perlawanan sengit. Rasa marah yang melanda dirinya seperti menambah satu kekuatan bagi Wiratama oleh karena itu serangannya meningkat berlipat ganda. Tubuh yang telah mengalami luka seperti tidak menjadi penghalang, bahkan mampu membangkitkan tenaga yang tak terlihat oleh mata namun justru hal ini menjadikan dirinya dalam keadaan sulit. Keseimbangan dirinya yang hilang karena gelap mata menjadi sebab pukulannya berkali-kali mengenai tempat kosong. Kepalan tangan kiri Wiratama mengenai baju kanan Prana Sampar, sekalipun hanya sebuah pukulan tangan kosong namun kepalan itu mampu merobek kain dan nyaris  mengenai lambung Prana Sampar. Segera Prana Sampar melakukan tendangan balasan dan nyaris mengenai kepala Wiratama karena tubuhnya telah surut melompat ke belakang. Tak lama kemudian keduanya berada di bibir perahu yang berseberangan. Wiratama menghentakkan kaki ke bibir perahu agar tergoyang keras, Prana Sampar yang sedikit terhuyung dengan cepat melayang memanfaatkan dorongan perahu ke arah Wiratama sambil melepaskan serangan. Namun begitu, Wiratama masih bisa mengelak dan menangkis serangan Sampar. Hanya saja Sampar sedemikan cerdik mampu memanfaatkan celah di antara tangkisan Wiratama sehingga dirinya berada di bawah dada lawannya. Satu pukulan telak yang disertai tenaga inti menyusup di celah pertahanan dan mengenai dada Wiratama sehingga terdengar keluhan tertahan. Wiratama terlontar melayang melewati bibir perahu. Air sungai ternoda dengan warna merah ketika  Wiratama menyentuh permukaan sungai. Ia tenggelam sesaat, tak lama kemudian tubuhnya mengapung tanpa gerakan. Menyaksikan Wiratama terpental jatuh ke dalam sungai dengan air berwarna coklat, Bondan melayang secepat anak panah menyambar Wiratama yang hanyut oleh aliran sungai. Dengan menginjakkan tapak kakinya ke permukaan air, Bondan kembali mengapung di angkasa menuju  perahu  dan segera memeriksa keadaan Wiratama. Ia membuka baju yang menutup tubuh Wiratama dan tampak warna kebiruan berbentuk telapak tangan pada dada prajurit itu. “Tampaknya orang ini terkena satu pukulan yang dilandasi tenaga luar biasa. Lelaki itu ternyata bukan orang biasa,” gumam Bondan pada dirinya sendiri sambil melirik Prana Sampar. “Setan!” desis Prana Sampar geram. Seseorang telah tiba-tiba ada di dekatnya dan menyaksikan perkelahian yang berujung pada kematian seorang prajurit Majapahit. Tentu kematian ini akan mengguncangkan Trowulan dan dengan begitu dirinya akan diburu seluruh pasukan Majapahit sampai ujung langit. Satu-satunya jalan adalah menghilangkan jejak dengan membunuh anak ini! Pikir Sampar. Mata Prana Sampar menatap tajam ke arah Bondan yang belum beranjak dari tempatnya duduk di sebelah mayat Wiratama. Prana Sampar tak ingin ada yang menjadikan berita kematian Wiratama menjadi tersebar. Tiga pasak kecil meluncur deras ke arah Bondan yang dengan sigap melenting ke samping untuk menghindari senjata rahasia itu. ”Ki Sanak, apa urusanmu dengan senjata itu?” Bondan bertanya dengan nada ingin tahu. “Anak muda, menjadi urusanku dengan membunuhmu karena perkelahian ini!” seru Prana Sampar. “Ini bukan kesalahanku. Aku melihat perkelahian itu karena aku melihatnya. Dan engkau, Ki Sanak, jangan jadikan membunuh itu sebagai kebiasaan!” Bondan menyahut sambil menjelaskan keadaan dirinya. “Bocah tengik! Berani kau katakan itu, ha? Aku membunuh bukan sebagai kebiasaan, tetapi lebih karena aku suka melakukannya!”

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
  4. Bab 4 : Gunung Semar
  5. Bab 5 : Tiga Orang
Waktu yang lambat merayap tidak dapat dirasakan oleh kedua orang yang usianya tidak terpaut jauh itu. Matahari mendaki langit semakin tinggi dan meninggalkan riak-riak kecil yang bermain-main dengan angin yang menyapu lembut permukaan sungai Brantas. (bersambung)  

Sumber: