Hidup Hanya Seputar Dapur, Sumur, dan Kasur

Hidup Hanya Seputar Dapur, Sumur, dan Kasur

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Tiap pagi, selepas salat Subuh, seorang pria paruh baya, sapa saja Jono, termenung di pagar jembatan Waduk Wiyung. Sendirian. Sudah seminggu lebih. “Aku takut istriku pergi,” katanya setelah Memorandum beberapa kali menyapa dan duduk menemani. “Kenapa?” “Aku sudah tidak bisa lagi memberikan nafkah batin.” “Perempuan pada usia-usia kita sudah tidak mengutamakan hal itu.” “Dia masih muda. Tiga puluh limaan. Mungkin ini karma.” “Karma?” Jono lantas bercerita bahwa dia menikah sekitar 25 tahun yang lalu. Pasangannya sebut saja Nia. Lulusan pondok pesantren di Jombang. “Dia gadis lugu dan tidak pernah berbuat sesuatu yang aneh-aneh,” kata Jono lirih. Matanya terpejam seolah ingin menembus kembali masa lalu. Dunia yang terbentang dari Asia hingga Afrika, dari Rusia hingga Australia, bagi Nia seolah terlipat dalam sejengkal dua jengkal langkah antara rumah dan musala kecil di depan rumah. “Istriku tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di seputar kasur, dapur, sumur, dan musala depan rumah. Dia ngajar ngaji,” imbuh Jono. “Kalau belanja?” “Di depan rumah. Ada langganan tukang sayur.” “Cantik?” “Cantik,” jawab Jono pelan, lantas menjelaskan, “Nia adalah primadona di pondok. Banyak santri senior menaruh hati kepadanya. Juga beberapa gus anak kiai atau nyai. Bahkan, beberapa kiai ada yang ingin menjadikannya istri kedua.” Ditambahkan bahwa Nia adalah anak tunggal sahabat ayahnya yang menguasai berhektare-hektare tambak di Sidoarjo dan Lamongan. Ayah Nia dan ayah Jono akrab ketika mereka menimba ilmu agama di Gontor. Jono sendiri sebenarnya dipondokkan ayahnya di ponpes modern tersebut. Tapi, Jono tidak mampu bertahan lama. Dia beberapa kali disanksi karena melanggar aturan pondok. “Beberapa kali saya digundul.” Jono akhirnya kabur dari pondok dan minggat ke Jakarta. Sejak usia 16 tahun. Karena tidak memiliki sanak saudara di ibu kota, Jono hidup menggelandang. Bekerja rok-rok asem untuk sekadar bertahan hidup. “Nggak kasihan orang tua?” “Waktu itu nggak kepikiran. Yang penting hidup bebas.” “Pernah terlibat kejahatan jalanan?” “Meskipun mbeling, aku tidak pernah berpikir untuk berbuat jahat. Minta-minta saja selalu aku hindari. Aku bekerja apa pun untuk bertahan hidup. Jadi tukang parkir. Jadi tukang cuci motor. Nguli bangunan. Nguli pelabuhan. Macem-macem-lah. Yang penting halal. Bahkan pernah menjadi pembantu rumah tangga dan perawat kebun.” “Lantas, bagaimana ceritanya bertemu istri hingga akhirnya nikah?” Jono tertawa. Lebih tepatnya menyeringai. Matanya menyipit dan dahinya mengernyit. “Waktu itu aku tertidur di teras pasar. Di kawasan Tanah Abang. Tubuhku ditendang-tendang. Ternyata oleh petugas. Orang satpol PP. Aku didata dan dibawa ke markas. Karena tidak punya tempat tinggal tetap di Jakarta, aku dipulangkan.” (bersambung)  

Sumber: