Ofo Dai Wei

Ofo Dai Wei

Oleh: Dahlan Iskan CEO yang satu ini tidak boleh lagi naik kereta cepat. Apalagi pesawat. Dilarang juga tidur di hotel bintang empat atau lima. Pun dilarang main golf. Begitulah peraturan di Tiongkok. Bagi CEO yang perusahaannya ngemplang utang. Apalagi kalau perusahaannya bangkrut. Sudah jutaan direktur yang masuk blacklist seperti itu. Sejak peraturan itu berlaku pada tahun 2014. Mereka termasuk perorangan yang punya utang pribadi. Dan tidak mau bayar. Itu pula yang dialami anak muda ini. Umur 28 tahun ini. Yang mendapat gelar raja startup: Dai Wei. Saat mendirikan perusahaan itu lima tahun lalu umurnya baru 23 tahun. Nilai terakhir perusahaannya Rp 30 triliun. Luar biasa cepatnya. Sebelum tiba-tiba nyungsep. Saat memulai startup itu ia baru lulus master manajemen. Dari sekolah bisnis terkemuka. Yakni ‘Harvard’-nya Tiongkok: Beijing University (北京大学). Di situ juga Dai Wei lulus S1. Lalu mengabdi di pedalaman setahun. Di Qinghai. Menjadi guru matematika. Saat masih mahasiswa, Dai Wei punya kelompok sepeda. Empat orang. Ia pun punya ide bikin ‘Uber’-nya sepeda. Ia ciptakan apps. Ia usulkan ke universitas. Untuk mendapat dukungan modal. Dai Wei berasal dari provinsi miskin di Anhui. Universitas menyetujui ide brilian anak muda itu. Ada dana untuk mendukung begituan di sana. Yang asalnya dari sumbangan alumni yang sudah sukses. Didirikanlah: Ofo. Yang suksesnya pernah saya tulis di disway (Baca:Bermuara ke Yang Besar Juga). Yang saya juga pernah mencoba sewa sepedanya. Saat saya check up di RS Tianjin dua tahun lalu. Ambisi Dai Wei luar biasa. Dalam waktu dua tahun seluruh kota di Tiongkok sudah dibanjiri sepeda Ofo. Yang warna kuning itu. Kata ‘Ofo’ sendiri ia pilih lantaran dua ‘o’ itu mirip dua roda sepeda. Tahun ketiga Ofo dikembangkan sampai ke Amerika dan Eropa. Dai Wei baru 26 tahun. Perusahaannya sudah mendunia. Saat ke Dallas saya lihat Ofo. Ke pedalaman St Louis pun saya lihat Ofo. Saya kagum-kagum ngeri. Kagum karena sepeda Asia merambah Amerika. Yang budayanya serba mobil itu. Tapi juga ngeri: kuatkah? Bisa diterima masyarakat Amerikakah? Tidak terlalu agresifkah? Dai Wei rupanya terjebak ‘pertumbuhan’. Harus cepat. Harus menguasai. Harus terbesar di bidangnya. Di tahun pertama kehadirannya Ofo sudah langsung menggiurkan pendatang baru. Lahirlah Mobike. Xiao Lan. Bluegogo. Xiao Ming. Dan banyak lagi. Tahun itu saja lahir lebih 40 perusahaan yang mengikuti jejak Ofo. Beberapa di antaranya sangat lokal. Saat saya ke Yiwu, satu kabupaten dekat Hangzhou, ada copy-an Ofo yang hanya di tingkat kota kabupaten. Kota-kota di Tiongkok penuh sepeda lagi. Terutama di simpang-simpang jalan. Di trotoarnya. Orang bisa ambil sepeda di mana saja. Untuk dikendarai ke mana saja. Tanpa harus mengembalikan ke tempat asal. Bisa dikembalikan di mana saja. Ditaruh begitu saja. Kadang di pinggir sungai. Pesaing utama Ofo adalah Mobike. Yang sepedanya warna oranye muda itu. Terutama karena Mobike didukung raksasa IT: Tencent. Dai Wei pun harus cari modal besar. Agar tidak digeser follower-nya. Agar tahun kedua sudah punya 10 juta sepeda. Alibaba tertarik. Raksasa taxi Didi tertarik. Keduanya menginjeksi Ofo. Lalu injeksi lagi. Total menjadi sekitar Rp 20 triliun. Ambisinya menguasai sepeda dunia mulai dilaksanakan. Dengan target kepemilikan 200 juta sepeda. Tapi Mobike tetap kian mengancam Ofo. Tahun keempat Ofo mulai kehabisan nafas. Pembayaran ke pabrik-pabrik pembuat sepeda molor. Lalu macet. Dai Wei terus mencari dana baru. Dapat. Dari investor Rusia. Hampir Rp 4 triliun. Habis lagi. Cari lagi. Kian sulit. Pabrik-pabrik sepeda mulai mensomasinya. Akhir tahun lalu semua jalan menjadi buntu. Bagi Ofo. Operasionalnya tersendat. Banyak sepeda ditarik oleh pemilik pabrik. Jumlah Ofo di jalan-jalan kian sedikit. Lalu nyaris lenyap. Muncul tuntutan baru: dari pelanggan Ofo. Yang sudah menaruh deposito di apps Ofo. Mereka minta sisa uang bisa kembali. Yang masih di deposito itu. Kan tidak bisa digunakan lagi. Ofo-nya sudah raib dari jalan-jalan. Padahal ada 12 juta orang yang menempatkan deposito di Ofo. Masing-masing sekitar Rp 150.000. Kalau ditotal banyak juga: hampir Rp 2 triliun. Tidak ada uang untuk mengembalikannya. Kas Ofo kosong. Kering. Padahal janjinya mudah: uang itu bisa diambil kapan saja. Cukup ambil dari apps. Lalu ada berita di medsos. Bagi yang datang langsung ke kantor Ofo di Beijing akan dibayar. Maka membanjirlah mereka. Memenuhi kantor pusat Ofo di Beijing itu. Tidak ada uang. Perusahaan bernilai Rp 30 triliun ini tidak punya uang. Dan ternyata juga tidak punya aset. Khas perusahaan startup. Yang mengandalkan jumlah pelanggan. Dan kebesaran network. Sebagai asetnya. Ofo juga khas perusahaan startup: berani bakar uang di depan. Bermilyar-milyar. Bertriliun-triliun. Dengan harapan hasil yang jauh lebih besar. Kalau berhasil. Tapi mengapa Ofo begitu cepat ambruk? Besok disway masih tetap terbit. Paling tidak minggu depan. Sumpah! (*)  

Sumber: