Salat Jumat di Atas Kapal Perang

Salat Jumat di Atas Kapal Perang

SEHARI bertahan di atas Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Makassar 590, rasanya sudah seperti hidup di darat. Saya tidak mabuk laut walaupun ini kali pertama saya berlayar lebih dari dua jam. Kendati saya akui, goyangan kapal sempat membuat kepala sedikit pusing. Hidup di kapal nyaris sama dengan di darat. Itu tentu bagi anggota TNI AL. Mereka sudah terbiasa hidup di atas kapal. Terpisah dalam dek dek yang berbeda. Banyak hal yang sama yang saya temukan dengan dunia darat. Ada lapangan olahraga sampai keperluan harian. Mandi dan buang air besar. Semua ada di atas kapal. Kendati tidak seluas yang ada di darat. kamar mandi hanya berupa ruang sekat cukup untuk berdiri dengan bergerak sedikit untuk menggosok badan. Closet terpisah dari ruang kamar mandi. Layanan di closet pun cukup nyaman. Ups..., itu yang saya rasakan di dek perwira. Saya tidak tahu fasilitas di dek bintara yang ada di bawah dek saya. Bukan karena apa saya tidak mampir ke dek bintara. Tapi lebih karena di sana banyak terparkir kendaraan tempur. Saya tahu tidak sembarang orang boleh mendekat. Ini dalam kondisi perang. Kendati hanya latihan, mereka semua serius bersikap seolah-olah memang sedang berperang. Sedang posisi saya di KRI ini tidak dilengkapi dengan pengetahuan perang. Untuk sarana olahraga, KRI Makassar 590 ini juga ada. Helipad yang ada di dek D cukup luas untuk senam ataupun lari keliling landasan. Dua tiga kali rasanya akan membuat kita mandi keringat. Tidak hanya itu. Di dek ini pula ada lantai kosong yang multiguna. Dari garis di lantai, ada pola lapangan bulu tangkis. Di pagar pembatas dek atas juga terpasang keranjang bola basket. Bagi banyak orang, berolahraga bisa menjadi hiburan yang berkeringat. Dan menyenangkan. Lantai ini juga digunakan sebagai masjid kapal. Termasuk untuk menggelar salat Jumat kemarin. Lengkap dengan mimbar khatibnya. Penataan karpet dan mimbar memang bisa dipindah pindah. Menyesuaikan dengan arah laju kapal. Kemarin, kami menggelar salat Jumat menghadap buritan kapal. Saya merasa kenyamanan nyaris sama dengan yang saya rasa saat salat Jumat di darat. Empat kipas angin di sisi kanan kiri membuat rasa panas menyingkir. Saya juga merasakan kantuk saat mendengarkan khotbah. Nyaris sama dengan biasanya saat saya salat Jumat di masjid di darat. Kalaupun ada bedanya mungkin pada goyangan kapal yang terasa selama salat. Saat berdiri dan rukuk (membungkuk waktu salat), goyangan lebih terasa. Mungkin ini bedanya dengan di darat. Tapi memang ada rasa yang berbeda mengikuti salat Jumat di atas kapal dengan di daratan. Apalagi bagi saya yang baru sekali ini merasakan. Ada rasa diri merasa sangat kecil karena di sekeliling kami hanya terhampar lautan. Nyaris tak bertepi. Ya Allah. Ampuni hamba. (rif/be/bersambung)

Sumber: