KRI Makassar…, Aku Padamu
KAMIS (11/7) siang, saya dimasukkan ke rombongan media di KRI Makassar 590. Alhamdulillah. Kapal ini lebih besar dari KRI Teluk Banten untuk teman media di tim lain. Sedetik lagi saya bakal bisa merasakan sama kapal perang. Kapal yang biasanya dan bisa digunakan TNI AL dalam rangka mempertahankan wilayah negara. Berbarengan dan antre dengan masuknya ratusan personel TNI AL, saya menapaki tangga kapal. Begitu masuk areal kapal, saya merasakan suasana yang nyaman. Sangat nyaman malah. Tidak ada hawa panas sama sekali. Nyaris sebelas dua belas dengan kapal pesiar di Bali yang pernah saya naiki. Beberapa tahun lalu. Kemarin siang memang waktunya tim KRI Makassar 590 bergabung dengan tim lain dalam latihan Armada Jaya XXXVII/ 2019. Melihat ratusan personel TNI AL yang masuk kapal dengan menapaki tangga, mereka tampak gagah. Dengan topi baja berumbai untuk penyamaran, mereka sempurna sebagai penjaga negara. Kemarin, tim kami belum terlibat dalam latihan. Masih dalam tahap persiapan. Personel dan logistik satu satu masuk. Logistik bukan makanan tapi persenjataan yang dibawa setiap personel. Rasanya benar-benar hendak berangkat perang saja. Mental saya sudah siap. Pasrah saja. Toh saya dikelilingi pasukan terlatih penjaga negara. Saya ada di kamar D14. Dek D nomor 14. Ada delapan ranjang bertingkat yang berisi 16 orang. Semuanya dari media hingga kami tidak segan bertegur sapa. Tidak ada jenjang kepangkatan di antara kami, sesama awak media. Sesak kah? Terasa sesak karena memang ruangan hanya berisi tempat tidur. Ada satu meja dan kursi di kamar tersebut. Pun demikian, tidak terlalu sesak. Ini kan memang kapal perang. Bukan kapal pesiar. Sedikit sesak saya rasa bukan masalah. Memaksimalkan daya angkut dengan hal-hal yang lebih berguna untuk kondisi perang. Saya yang baru pertama kali naik kapal perang tetap terasa nyaman. Apalagi beberapa rekan media lain sudah beberapa kali naik kapal perang. Mereka lebih berpengalaman menikmati suasana. Tinggal sebentar lagi memastikan fasilitas lain di kapal ini. Tentu saya tidak berharap dan tidak membayangkan banyak kenyamanan di kapal perang ini. Sekali lagi, kapal dan fasilitasnya memang untuk kondisi perang. Kondisi evakuasi bencana yang lebih mementingkan nilai satu nyawa daripada sejumput kenyamanan. Termasuk menu di kapal ini. Tidak banyak yang bisa saya bayangnya. Toh dalam kondisi perang, makan mungkin hanya untuk bisa bertahan hidup. Bukan memanjakan lidah dengan segenap rasa. Malah dalam kondisi perang darat, pasukan bisa jadi akan makan apa saja yang ditemukan. Kadang malah harus dimakan dalam kondisi mentah. Di kapal ini, tentu jauh lebih baik daripada kondisi perang darat. Minimal makanannya melewati proses masak. Apapun makanan dan masakannya, rasanya saya sudah siap untuk menikmatinya. Semoga gigi saya tidak sakit. (rif/be/bersambung)
Sumber: