Revolusi Energi untuk Negeri (1)

Revolusi Energi untuk Negeri (1)

Oleh: Dahlan Iskan YANG saya bicarakan ini adalah listrik untuk usaha. Untuk bisnis –perdagangan dan terutama industri. Bukan listrik untuk rumah tangga. Amerika Serikat mendapatkan sumber utama listrik dari gas yang murah. Tiongkok dari tenaga air yang lebih murah. Satu bendungan di Sungai Chang Jiang saja, kapasitasnya hampir sama dengan kebutuhan listrik seluruh Jawa saat ini: 29.000 MW. Itu hanya contoh. Kita tidak akan membandingkannya dengan negara lain. Untuk apa. Mereka sudah maju. Posisi mereka sudah bisa mendikte negara miskin. Saya membicarakan Indonesia. Yang ingin maju. Yang harus punya daya saing. Terutama di dunia usaha dan industrinya. Selama ini, untuk punya daya saing itu, kita terus mempersoalkan perizinan, sogok-suap, dan produktivitas manusia. Juga kreativitasnya. Saya akan melengkapinya dengan penyediaan energi yang murah. Misalkan perizinan, sogok-suap, dan produktivitas manusia sudah bisa kita perbaiki. Apakah otomatis akan bisa mengalahkan negara maju? Atau negara tetangga? Asumsi saya, kita bisa memperbaiki itu semua. Harus. Tapi, hasilnya, maksimum kita hanya akan bisa menyamai mereka. Itu maksimum. Bukan mengalahkan. Berarti –pun kalau sukses– posisi kita tetap akan di belakang. Maka, energi yang murah adalah satu aspek yang insya Allah –hampir saja saya menulis kata ”pasti”– bisa membuat kita menang. Dengan energi murah, daya saing kita tidak akan tertandingi. Untuk itu, banyak yang berteori bahwa listrik akan baik kalau tidak ada listrik swasta. Itu omong kosong. Itu ideal, tapi tidak menginjak bumi. Menghapus swasta hanya akan menghasilkan krisis listrik. Pilih mana, listrik agak mahal, tapi ada. Atau, tidak ada swasta, tapi listriknya mati-mati terus. Sayangnya, bicara begini tidak menarik. Pertama, akan dikira saya punya kepentingan. Bicara krisis listrik juga tidak menarik di dalam suasana listrik melimpah seperti sekarang ini. Bicara problem listrik itu baru menarik dalam keadaan mati lampu. Apalagi tiga kali sehari. Seperti dulu itu. Ingat: listrik itu baru diingat justru ketika sedang mati. Tapi, yang saya bicarakan dalam serial ini adalah: listrik murah sekaligus berlimpah. Pakai swasta, ataupun kalau perlu tidak usah pakai swasta. Dengan cara saya itu, listrik swasta tidak usah dimusuhi. Mereka akan mati sendiri –termasuk milik saya. Sebelum saya mengajukan konsep revolusi energi, coba kita berdiskusi dulu. Cara apa yang akan bisa membuat listrik kita murah –lebih murah daripada semua negara. Banyak orang berteori pakai tenaga surya, angin, arus laut, air, nuklir, geotermal. Semua itu memang masuk akal, tapi masih omong kosong untuk Indonesia saat ini. Saat ini. Sampai lima tahun ke depan. Bahkan, ada yang berteori lebih parah lagi: hidrogen, daya gravitasi, magnet, dan seterusnya. Itu hebat. Tapi, bukan untuk hari ini. Tenaga surya memang akan menjadi masa depan kita. Mungkin 10 tahun lagi. Tunggu datangnya era baterai hebat nan murah. Air, sudah saya sebutkan kesulitannya: waduk, danau, dan sungai kita terancam pendangkalan terus-menerus. Kalau terlalu mengandalkan air, kita akan krisis listrik di musim kemarau. Angin juga masih harus tunggu era baterai hebat nan murah. Angin kita –dan angin di mana pun– angin-anginan. Kadang ada –sampai menumbangkan pohon. Tapi, lebih sering tidak ada. Padahal, listrik harus ada terus-menerus –kecuali Anda tidak kaget listrik di rumah Anda mati saat Anda melihat memang lagi tidak ada angin. Kelak, di saat angin datang besar-besaran, kelebihan listriknya bisa kita simpan di baterai. Untuk dipakai ketika tidak ada angin. Itu akan paralel dengan tenaga surya. Siang hari, ketika ada matahari, kelebihan listriknya disimpan di baterai. Untuk dipakai malam hari. Sampai, kelaaaak, ketika bulan sudah bisa bersinar seperti matahari, baterai tidak relevan lagi. Tapi, itu hil yang mustahal –kata Asmuni-nya Srimulat. Arus laut memang sumber listrik. Tapi, janganlah berharap itu dalam jangka pendek. Kita masih harus menunggu ITB, ITS, UI, UGM menjadi sekelas MIT atau Tsinghua. Nuklir tentu juga sumber listrik yang hebat dan hemat. Namun, jangan harap bisa terwujud dalam waktu 15 tahun ke depan. Saya sempat menyiapkan salah satu pulau untuk proyek nuklir. Ideal sekali. Tidak perlu saya sebutkan lokasinya. Yang jelas bukan di Bangka. Tapi, makin mendalami masalah nonteknisnya, makin jauh harapan segera bisa mewujudkannya. Listrik dari geotermal juga murah dan andal. Namun, investasinya mahal sekali. Nonteknisnya juga mengerikan. Apalagi, itu hanya solusi di Jawa dan sebagian Sumatera. Potensi terbesar geotermal hanya ada di dua pulau itu. Di Bali nonteknisnya lebih berat: melubangi gunung dianggap melawan dewa. Gunung di Bedugul sudah telanjur dilubangi. Di zaman Pak Harto. Mungkin sudah 30 tahun lalu. Sampai sekarang hanya ngowos begitu saja. Suaranya seperti pesawat Boeing. Tapi tidak menghasilkan listrik. Geotermal itu bagus sekali. Tapi, itu bukan solusi Indonesia secara keseluruhan. Saya menulis ini berangkat dari dunia nyata. Bukan dunia ”sebaiknya”. Bukan pula dunia teori. Apalagi dunia mimpi. Jadi, kalau dalam tulisan besok saya mengemukakan bagaimana membuat energi murah dan melimpah, itu modalnya hanya keberanian. Keberanian. Dan keberanian. Met Lebaran. Lahir batin. (*)

Sumber: