Sekolah Dilarang Paksa Siswa Beli Seragam di Koperasi
SURABAYA - Dinas Pendidikan (Disdik)Jatim mengeluarkan surat edaran nomor 420/3846/101.1/2019 agar sekolah tidak memaksakan siswa baru untuk membeli seragam melalui koperasi sekolah atau komite sekolah, kecuali atas permintaan orang tua/wali peserta didik. Ini dilakukan karena Dinas Pendidikan Jatim tahun ini kembali memberikan fasilitas seragam baru bagi peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020 di SMA/SMK negeri dan swasta. Sayangnya, imbauan Dinas Pendidikan Jatim tersebut sudah terlambat atau kedaluwarsa. Sebab, sekolah-sekolah sudah melakukan daftar ulang dan orang tua wali murid sudah membeli seragam baru di koperasi sekolah. Setiap sekolah mematok harga bervariasi antara Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta. Itu pun masih berbentuk kain. Menurut Plt Kepala Dindik Jatim, Hudiyono, tahun ini alokasi seragam gratis bagi siswa SMA/SMK negeri dan swasta di Jatim, rencananya akan dibagikan pada September 2019. Setiap siswa akan mendapatkan kain untuk dua setel seragam sekolah, yang terdiri dari satu setel pakaian abu-abu dan satu setel pakaian seragam pramuka. "Kalau sekolah juga jual sifatnya tidak boleh memaksa. Karena siswa bisa menggunakan seragam lama (SMP, red). Kalau mau menggunakan yang baru, bisa membeli di toko seragam,” ujar Hudiyono usai acara halalbihalal di kantor Dinas Pendidikan Jatim, Selasa (2/7). Terpenting, kata dia, siswa diterima lebih dulu dan bisa mengikuti pembelajaran. Sekolah hanya memfasilitasi apa yang dibutuhkan siswa. Sehingga pengadaan pakaian seragam tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan maupun daftar ulang peserta didik baru atau kenaikan kelas. Terkait masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), Hudiyono juga mengimbau agar sekolah bisa memfokuskan kegiatan tersebut pada pengenalan manajemen sekolah, program, kurikulum, dan aturan yang terdapat di lingkungan sekolah. Termasuk pengenalan guru dan karakter guru juga harus dilakukan oleh sekolah. "Sebagai gudangnya ilmu, sekolah harus bisa memberikan pelayanan pada siswa dengan baik, kebutuhan siswa akan menjadi komunikasi dengan baik. Misalnya, dia (siswa) tidak sepakat dengan program sekolah bisa didiskusikan dengan baik,”ungkap Hudiyono. Sehingga, lanjut dia, MPLS menjadi kesempatan bagi sekolah untuk membangun kebersamaan dan kepemimpinan untuk siswa. ”Jadi tidak perlu lagi siswa membawa tas dari karung goni atau bawa-bawa pita. Yang menyusahkan siswa ini tidak boleh lagi dilakukan,” katanya. (why/be)
Sumber: