Persebaya dan Er-Ji

Persebaya dan Er-Ji

Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Menulis soal Persebaya yang kini sedang berseteru dengan Pemkot (Pemerintah Kota) Surabaya sejujurnya bukan pilihan utama di rubrik Matahati pekan ini. Alasannya klasik; persoalan stadion lapangan pertandingan yang menjadi home base tim berjuluk Bajul Ijo itu problem lama. Sejak aturan klub sepak bola harus berbadan hukum, tepatnya perseroan terbatas (PT) diberlakukan, setiap klub sepak bola peserta Liga Indonesia dituntut profesional, dan wajib memiliki stadion, Persebaya selalu dihantui masalah ini karena memang tidak memiliki stadion sendiri. Sehingga, setiap bertanding di kandang, Persebaya pasti menyewa stadion.   Padahal semua tahu, dua stadion yang berada di Kota Surabaya, Gelora 10 Nopember Tambaksari dan Gelora Bung Tomo (GBK), dua-duanya milik Pemkot Surabaya, yang pembangunannya tentu menggunakan anggaran pemerintah. Alhasil, mau tidak mau, suka tidak suka, Persebaya harus menyewa stadion-stadion itu.   Kedua stadion itu memang membanggakan. Sangat!. Apalagi bagi pendukung Persebaya yang kental disebut bonek (bondo nekat), kedua stadion itu sangat melegenda di hati mereka. Hingga muncul pepatah, “tak ada sepak bola, tak ada Gelora 10 Nopember”. “Gak onok bal-balan, yo gak onok stadion GBT”.   Sebegitunya sikap bonek terhadap “kekasihnya” (Persebaya). Dan ini sudah sangat teruji. Bertahun-tahun, itulah gambaran hati suporter terhadap Persebaya, klub kesayangan warga Surabaya.   Nah, ketika ada yang mengusik Persebaya seperti menaikkan biaya sewa stadion untuk Persebaya, langsung reaksi keras bermunculan dari beberapa kalangan. Pastinya mereka berjibaku di belakang Persebaya.   Tapi bukan itu alasan penting untuk akhirnya memilih menulis Persebaya. Sejarah panjang Persebaya mengukuhkan klub ini bukan sekadar klub seperti klub kebanyakan. Dan itu benar adanya!   Persebaya selain prestasinya bejibun, klub yang pendukungnya militan, klub yang ditakuti dan disegani lawan, juga klub yang sepanjang tahun mampu membuktikan diri sebagai penyumbang pemain berkualitas untuk tim nasional. Dan itu dapat dibuktikan dalam catatan emas sejak era Yacob Sihasale, Abdul Kadir, bahkan pemain generasi sebelumnya.   Pun, saat Persebaya kini dikelola manajemen yang lebih profesional. Yang lebih mengedepankan unsur sportainment dan sportivitas. Jauh dari unsur politik seperti yang acap kali terlihat jelas di era-era sebelumnya. Jadi, begitu menyeruak tentang harga sewa hingga Rp 444 juta setiap sekali pertandingan home, hal itu diartikan jauh dari sikap sportivitas. Lebih tragis, keputusan Pemkot Surabaya menaikkan harga sewa stadion hingga selangit itu dinilai sebagai langkah politis dan jadi ancaman kehancuran Persebaya.   Dalam sejarah, belum pernah terjadi kenaikan sewa stadion dalam hitungan rupiah sebesar kali ini. Apalagi semua tahu Presiden Persebaya Azrul Ananda bukanlah pendukung Er-Ji (Eri Cahyadi-Armuji), pasangan politik yang memetik kemenangan dalam pemilihan wali Kota Surabaya tempo hari.(*)

Sumber: