Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (4)

Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (4)

Yakin Luput dari Bencana karena Benar Perlakukan Mayat Kucing

Risa minta suaminya langsung menguburkan mayat si pus. Agus menolak. Maunya mayat kucing tadi dikafani, baru dikuburkan. “Agar kesialan tidak menghantui kita,” kata Agus. “Tolong kafani dulu. Aku jijik,” kata Agus. “Siapa yang ngotot ngafani?” sahut Risa sambil ngeloyor ke tukang sayur yang bengok-bengok di depan rumah. Agus terpaksa turun tangan. Tapi sebelum itu, dia mengenakan sarung tangan, kacamata hitam, masker, face shield, serta celana dan jaket hujan. Malamnya, ketika makan bersama, si sulung bertanya, “Pa, di belakang sana ada gundukan kecil. Kayak kuburan. Emangnya siapa yang mati?” Yang menjawab justru Risa. Dijelaskannya sejak awal kejadian hingga terjadinya penguburan si pussy. Anak-anak menahan tawa. “Pa. Tadi sebelum dikafani, sudah dimandikan belum?” Adiknya menambahkan, “Papa tidak lupa menyalatinya, kan?” “Pakai ditalkin nggak?” sela Risa sambil menahan senyum. Tiba-tiba terdengar halilintar, disusul gerimis, yang dalam waktu singkat berubah menjadi badai. Hujan disertai angin. Kilat menyambar-nyambar, guntur bersahut-sahutan. Bising. Memekakkan. Samar-samar terdengar benda berat jatuh. Berdebum. Agus berdiri dan mendekati jendela. Bermaksud melihat apa yang terjadi di luar. Dia mendekatkan wajah ke kaca jendela. Tidak disangka, sebuah ranting yang lumayan besar menghantam daun jendela hingga selotnya patah dan menerobos masuk kamar. Nyaris mengenai wajah Agus. Dia bergegas menutup daun jendela dan minta Risa mengambil paku besar di gudang. “Untung jenazah kucing tadi kukafani sehingga aku terhindar dari bencana,” kata Agus setelah membersihkan diri dan tidur di samping Risa. “Jenazah? Jenazah kucing? Mengapa tidak sekalian menyebut beliaunya sebagai alharhum atau almarhumah?” Agus diam dan berbalik badan. Mlungker dan berselimut. Tapi, tak lama kemudian HP-nya berdering. Diangkat. “Ibuk? Apa?” kata Agus keras untuk mengalahkan suara hujan dan angin di luar. “Tidak dengar, Buk! Di ini hujan angin. Agak keras! Ya. Hah? Apa? Bapak tidak ada?” belum sempat menyelesaikan dialog dengan orang di seberang, Agus terlihat gemetaran. HP di tangannya jatuh dan berantakan. Agus lantas pinjam HP Risa. Tapi, di HP Risa tidak tersimpan memori nomor bapak dan ibu Agus. Demikian juga di HP anak-anak. Agus lemas. “Ternyata ini kesialanku,” rintih Agus. Risa dan anak-anak hanya diam. “Kita harus segera pulang. Bapak tidak ada. Ayo anak-anak, kita pulang ke Solo. Kakek kalian tidak ada,” kata dengan suara terbata-bata. “Mas Agus harus sabar. Di luar sedang badai. Kita berangkat ke Solo besok saja,” kata Risa. “Tidak! Harus sekarang,” tegas Agus, yang lantas berkemas-kemas. Berkali-kali dia memukuli kepala. “Sabar Mas,” kata Risa. “Mungkin anak-anak benar. Kata orang tua-tua, kita harus memperlakukan jenazah kucing yang kita celakai seperti memperlakukan jenazah manusia. Selain dikafani dan dikuburkan, harus dimandikan dan disalati,” tutur Agus, lirih, sambil terus berkemas. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih      

Sumber: