Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (3)

Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (3)

Menabrak Kucing Sekeluar Tol Waru, Yakin Nasib Tambah Sial

Pada tahlilan hari ketujuh kematian ayah Risa, keluarga mengundang ustaz. Dalam ceramahnya, sang ustaz, sebut saja Azis, antara lain, menjelaskan budaya bangsa Arab sebelum Islam datang. Menurut Ustaz Azis, pada masa jahiliyah sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab mempunyai kebiasaan melepas burung saat akan bepergian. Bila burung itu terbang dari arah kiri ke kanan, mereka percaya bahwa itu pertanda nasib baik. Mereka lantas berangkat. Namun bila sebaliknya, itu pertanda nasib sial. Buruk. Mereka mengurungkan niat bepergiannya. “Masuk akal nggak Ibu-Ibu?” tanya Azis dari mimbar. Spontan jemaah tahlil menjawab, “Tidak…” “Lalu siapa yang menentukan nasib manusia?” “Allah…” Ceramah interaktif itu, rupanya, disenangi jemaah. Buktinya, meski sudah agak larut karena kedatangan ustaz yang sangat terlambat, majelis tahlil dan majelis taklim itu berjalan gayeng. Agus yang duduk di sekat ruang tamu dan ruang keluarga disenggol anaknya. “Tuh Papa. Papa kayak orang Arab jahiliyah. Suka tahayul,” kata si sulung, didukung anggukan adik yang duduk di sebelahnya. Agus pura-pura tidak mendengar. Besoknya mereka kembali ke Surabaya. Pagi-pagi sekali, karena agak siangan si sulung dan si ragil ada acara di sekolah. Cuaca berkabut dan udara terasa dingin menusuk tulang. Sebentar-sebentar Agus yang duduk di belakang setir klangopan dan buang napas keras-keras. Walau begitu, Agus tidak diperbolehkan anak-anak berhenti atau melaju agak lambat. Takut ketinggalan acara di sekolah. Sekeluar tol di Waru, tiba-tiba mobil terbanting ke kiri dan berhenti mendadak. Agus turun dan berjalan ke depan mobil. Wajahnya langsung pucat. Ini dilihat Risa, sementara anak-anak masih terlelap tidur. Kelelahan. Risa menyusul turun. Dia juga kaget ketika melihat apa yang dilihat suaminya. Seekor kucing tergeletak. Tubuhnya berdarah. Awalnya masih terlihat perutnya kembang-kempis tanda kucing tadi masih bernapas. Tapi ketika akan diangkat Risa, tanda-tanda kehidupan itu sudah tidak ada. Agus hanya melihat Risa membungkus kucing tadi dengan kerudung yang diambil dari tas. “Mas, bawa mayat kucing ini. Taruh di bagasi belakang. Kebetulan di sana ada tas kresek. Masukkan tas kresek agar tidak mengotori mobil. Nanti kita kubur di rumah.” Agus hanya terbengong-bengong, “Mbok kamu saja. Jujur aku jijik sama kucing.” Tanpa membantah Risa membawa mayat kucing tadi. Mereka lantas masuk mobil. Agus thenger-thenger di belakang setir. “Sial apa lagi yang akan menimpa kita?” tuturnya lirih, seperti berkata pada diri sendiri. “Masih percaya tahayul?” tanya Risa. “Sudahlah. Kita pulang,” kata Agus sambil mulai menjalankan mobil. Pelan-pelan. Sesampai rumah, anak-anak bergegas mandi dan berangkat ke sekolah. “Mas, mayat kucing tadi sudah terbungkus tas kresek. Tolong kuburkan di halaman belakang. Dekat pohon mangga,” kata Risa. “Apa kita tidak mengkhafaninya dulu?” tanya Agus. (bersambung)       Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih      

Sumber: