Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (1)

Suami dan Ayah Masa Kini yang Hidup bak Zaman Jahiliyah (1)

Kejatuhan Cicak, Diyakini Pertanda Bakal Ketiban Nasib Sial

Agus (bukan nama sebenarnya) tiba-tiba menghentikan langkah. Dikibaskannya lengan kiri. Sesuatu terlempar. Seekor cicak. Jatuh di pucuk sepatu yang sedang dia pakai. “Kenapa, Mas?” tanya istri Agus, sebut saja Risa. Langkahnya turut terhenti. “Kita batalkan dulu kepergian kita,” jawab Agus. “Kenapa?” “Nggakpapa. Hanya, menurut orang tua-tua dulu, kejatuhan cicak adalah pertanda buruk. Daripada nanti celaka di jalan.” “Tapi Papa sakit keras. Beliau pasti menunggu,” protes Risa. “Kita tunda. Semalam ini saja. Jaga-jaga daripada celaka. Pagi-pagi kita berangkat. Kalau perlu nanti dini hari. Asal sudah berganti hari untuk menghindari sial,” kata Agus sambil menggandeng Risa kembali masuk rumah. Anak-anak yang sudah lebih dulu masuk mobil diminta keluar. Percakapan itu diungkapkan Agus saat menelepon Memorandum, beberapa waktu lalu. Agus adalah teman sekolah adik bungsu memorandum. “Apakah aku salah, Mas, bersikap jaga-jaga seperti itu?” tanyanya. Memorandum, jujur, tidak mampu menjawab. Takut salah. Sebenarnya bukan takut salah, melainkan takut tidak sesuai pemikirannya, dan itu pasti mengecewekan dia. Karena itu Memorandum membelokkan jawaban dengan balik bertanya, ”Emang apa yang kemudian terjadi?” “Itulah yang memuatku bingung.” Agus lantas bercerita bahwa malam itu hatinya tidak tenang. Demikian pula Risa. Mereka uring-uringan. Risa menuduh Agus terlalu percaya tahayul hingga rela menunda kepulangan. Padahal, adiknya barusan menelepon. Memberitahukan bahwa bahwa ayah mereka sedang sakit keras. Agus ngotot menunda. Alasannya toh tidak terlalu lama. Hanya beberapa jam agar memenuhi syarat berganti hari. Dengan begitu, mereka terlepas dari imbas sial karena kejauhan cicak. Cuma 6-7 jam. “Ini bukan tahayul. Bukan gugon tuhon. Aku pernah mengalami,” kata Agus. Keras. “Tapi Papa sakit keras. Jangan sampai kita menyesal karena mengambil keputusan tidak masuk akal,” sanggah Risa. Suaranya meninggi. Tapi agak serak menahan tangis. Itu terjadi sampai hampir tengah malam. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Perang mulut bahkan makin gencar. Apalagi adik Risa yang tadi siang menelepon, kembali menghubungi Risa. Bertanya kenapa belum sampai? Adik Risa mengabarkan bahwa ayah mereka mengigau menyebut-nebut nama Risa. Risa adalah perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Anak yang paling disayangi ayahnya. Setelah menerima telepon, emosi Risa makin membara. Omelannya makin tak terkontrol dan tangisnya menjadi-jadi. Agus tidak tahan. Pelan-pelan warga Sawahan ini keluar kamar, mengambil sesuatu dari saku baju. Rokok. Selain menghindari omelan istri, Agus bermaksud mengusir penat sambil menunggu pergantian hari. Sudah pukul 23.30. Kurang setengah jam lagi sudah berganti hari. Kesialan karena kejatuhan cicak sudah akan terlewati. Agus berencana berangkat ke rumah mertuanya nanti selewat pukul 24.00 atau selewat pukul 00.00. Agus tersenyum. Bara api di ujung rokok tiba-tiba padam. Rupanya kejatuhan kotoran burung. Mau dinyalakan lagi tidak bisa. Koreknya kehabisan gas. Agus tolah-toleh dan melihat tukang becak di seberang jalan sedang menyalakan rokok. Agus bermaksud minta api. Tanpa menolah ke kanan dan ke kiri dia berlari menyeberang jalan. Pada saat bersamaan sebuah motor melaju kencang. Dan brak! Agus tersungkur. Tak sadarkan diri. (bersambung)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih      

Sumber: