MA-Ju Perjuangkan Surat Ijo Jadi SHM
Surabaya, memorandum.co.id - Pasangan Calon Wali Kota Surabaya Irjenpol (Purn) Machfud Arifin dan Mujiaman Sukirno (MA-Ju), bertekad memperjuangkan surat ijo menjadi sertifikat hak milik (SHM) yang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum ,politik, dan akademik. Hal itu disampaikan dalam acara bedah buku Arek Suroboyo Menggugat' Mengakhiri Praktik Persewaan Tanah Negara di Surabaya. Bedah buku diinisiasi oleh Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TSIS) di Hotel Swiss Bellin Manyar, Minggu (22/11). Cawawali Surabaya Mujiaman menyebutkan, dalam buku yang diterbitkan Airlangga University Press ini memuat komitmen Cawali Machfud Arifin yang akan bersama rakyat menyelesaikan masalah tanah surat ijo (TSI). "Dalam buku itu sudah memuat sejarah surat ijo, dasar hukum, dan solusi. Saat ini tinggal kehendak dan kemauan pemimpinnya," sebutnya. Mantan Dirut PDAM Kota Surabaya ini menegaskan, MA-Ju akan berjuang bersama rakyat untuk merealisasikan surat ijo menjadi SHM. "Pertama retribusi akan dihapus. Berikutnya SHM di depan mata, karena bisa dipertanggung jawabkan secara hukum, politik, dan akademik," tegasnya. Selain itu, Ketua Dewan Penasihat P2TSIS Muhammad Faried mengungkapkan, pada 1970 telah ada agreemen antara wali kota Surabaya dengan gubernur Jawa Timur Tanah negara yang partikelir bisa dijadikan hak milik. Sayangnya, pada tahun itu wali kota Surabaya tidak pernah menindak lanjuti. "SK HPL 1953 ada 11 diktum, dan itu syarat yang harus dicukupi oleh Pemkot Surabaya. 3 diktum itu cacat hukum, cacat administrasi, dan cacat prosedur, sehingga pemkot tidak memenuhi diktum yang ada," ungkapnya. Sementara itu, guru besar ilmu hukum tata negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) Eko Sugitario mengatakan bahwa Pemerintah Kota Surabaya menerapkan dua tagihan sekaligus terhadap TSI, yakni pajak bumi dan bangunan (PBB), dan izin pemakaian tanah (IPT). Dua tagihan ini diberlakukan jauh sebelum ada payung hukumnya, masih kata Eko. Sehingga l, uang beserta bunga retribusi itu tidak jelas juntrungannya. Pemkot baru sah mendapat hak pengelolaan atas tanah surat ijo setelah keluar keputusan BPN 53 tahun 1997. "Sebelum keputusan BPN itu turun, Pemkot Surabaya sudah menarik retribusi sejak puluhan tahun. Lalu kemana uang beserta bunganya, kalau nanti berhasil menjadi SHM, retribusi plus bunga harus dikembalikan," Kata Eko sebagai pembicara dalam bedah buku tersebut. Pakar hukum tata negara Ubaya ini menganggap surat tagihan retribusi pemkot Surabaya lebih tepat sebagai surat ancaman. "Jadi surat tagihan ini lebih tepatnya surat ancaman. Karena isi surat menyebutkan, jika tidak membayar dalam tempo yang diberikan, maka hak pemakaian tanah akan dicabut," ujarnya. Dalam kesempatan yang sama, Hery Purnobasuki, pengurus P2TSIS menambahkan, Pemkot Surabaya merasa retribusi IPT ditiadakan akan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, jika wali kotanya kreatif dan inovatif, penghapusan retribusi tanah surat ijo tidak akan berdampak. "Pemimpin itu harus kreatif, apalagi sekarang itu jamannya kreatifitas dan inovasi. Aturan dan udang-undang yang sering dijadikan alasan oleh Pemkot Surabaya sebagai pengganjal melepas surat ijo itu yang buat manusia, yang bisa merubah juga manusia, apa susahnya," pungkas Hery. (mg1/udi).
Sumber: