Cat Rambut

Cat Rambut

Oleh: Dahlan Iskan   GEJOLAK Pilpres sudah selesai. Sudah aman. Tandanya jelas: diskusi publik di sana sudah beralih dari kualitas Pemilu ke kualitas cat rambut. "Itu pasti bukan karena cat rambut," kata ahli penata rambut ke New York Times. "Bisa jadi itu akibat pewarna godek," ujar yang lain. "Mungkin saja itu akibat proses pengecatan rambut. Mungkin waktu cuci rambutnya yang kurang sempurna," ujar ahli tata rambut lainnya. Yang dibicarakan itu adalah:  warna hitam yang meleleh bersama keringat di pipi kanan pengacara Donald Trump, Rudy Giuliani. Hari itu, Kamis lalu, Giuliani mengadakan konferensi pers. Masih soal kengototannya bahwa Trump itu seharusnya menang. Dua jam lamanya Giuliani berbicara –termasuk melayani pertanyaan para wartawan yang sangat kritis. Peluh Giuliani pun meleleh. Lho kok warna peluh itu hitam. Meleleh dari arah godeknya. Jelas sekali. Sampai ada wartawan yang lebih tertarik ke lelehan hitam itu daripada ke kengototannya membela Trump. Lelehan itu pun difoto dari jarak pendek. Terlihat jelas ada lelehan hitam di situ (Lihat foto). Maka para ahli politik menyingkir dari arena perdebatan. Topik rambut tidak menarik bagi mereka. Tapi bagi para ahli penata rambut itu persoalan lebih penting dari pada siapa yang harus masuk Gedung Putih. Maka mantan wali kota New York yang legendaris berkat peristiwa 9/11 itu pun beralih jadi objek diskusi soal cat rambut. Tidak mungkin Giuliani menggunakan cat rambut yang mudah luntur seperti itu. Ia kan salah satu orang terkaya di Amerika. Apalagi sehari sebelumnya terungkap rahasia ini: untuk membela Trump itu Giuliani minta bayaran yang sangat mahal. Perkaranya berat: membalik kekalahan menjadi kemenangan. "Giuliani minta bayaran satu hari USD 20.000 dolar" tulis New York Times. Itu sekitar Rp 300.000.000/hari. Giuliani bukan pengacara sembarangan. Ia jenis pengacara yang tahu bagaimana harus bersikap seandainya di perkara itu kalah bukti. "Kalau kalah bukti harus menang di saksi. Kalau kalah di saksi harus menang di bukti". Itulah prinsip dasarnya. "Bagaimana kalau kalah bukti dan sekaligus kalah saksi?" "Kalau kalah di bukti dan di saksi masih ada jalan: harus menang dalam gebrak meja". Rupanya dalam perkara Trump ini Giuliani kalah bukti dan kalah saksi. Maka tiap tampil ia harus gebrak meja. Sampai berpeluhan. Ia belum mau memastikan kebenaran soal bayaran Rp 300.000.000 per hari itu. Tapi jelas dengan kelas tinggi seperti itu tidak mungkin Giuliani memakai cat rambut merek biawak. Maka saya lebih setuju dengan analis bahwa warna hitam itu disebabkan soal cuci rambut yang kurang sempurna tadi. Mungkin saja hari itu pencuci rambutnya sudah mengatakan masih perlu dibilas sekali lagi. Tapi Giuliani sendiri yang minta agar disudahi. Katanya: sudah ditunggu Trump –di depan salon. Apalagi, di depan cermin, ia melihat wajah berumur 76 tahunnya sudah ganteng. Setelah bercermin lama itu ia memang balik duduk di kursi salon. Tapi tidak untuk bilasan terakhir. Ia justru minta agar bagian godek-nya diolesi penghitam. Di cermin ia melihat bagian itu terlihat abu-abu memutih. "Kan sudah ditunggu Trump di luar?“ tanya penata rambut di situ. "Biar saja ia menunggu. Godek saya ini mengganggu ketampanan dan kemudaan saya," jawab Giuliani –entah kepada media apa dan entah apakah ia memang ngomong begitu. Maka penata rambut itu cepat-cepat mengambil pensil pewarna. Agak buru-buru. Tapi warna abu-abu keputihan yang dikeluhkan tadi hilang. Giuliani pun berkaca sekali lagi. Dengan tenang. Membandingkan godek kiri dan godek kanan. Cukup lama. Toh tidak mungkin Trump menunggunya di depan salon. Maka perdebatan pun kini bukan lagi soal Biden atau Trump yang menang. Tapi soal proses cuci rambut atau pensil pewarna itu yang menjadi penyebab lelehan hitam itu. (*)  

Sumber: