Persahabatan Abadi Dua Bidadari di Garis Fatamorgana (3)

Persahabatan Abadi Dua Bidadari di Garis Fatamorgana (3)

Usul Menikah Two in One, Satu Lelaki untuk Mereka Berdua

Awalnya dulu. Saat masih SD. Banyak sekali yang naksir. Hampir semua teman cowok. Itu wajar. Sebab, Hantin dan Tavif memang cantik. Dan manis. Tingkah lakunya menggemaskan, meski kadang menjengkelkan. Itu terjadi sampai SMA. Tapi, mereka tidak pernah menanggapi cowok-cwok itu. Status keduanya yang selalu menempati peringkat teratas di seolah, sedikit-banyak, turut berpengaruh. Mereka jadi sombong. Sok pandai. Memandang rendah orang lain, terutama cowok-cowok tadi. Tentu saja cowok-cowok tersebut minder. Tidak ingin dipermalukan, akhirnya mereka banyak yang mundur sebelum bertempur. Seiring waktu, Hantin dan Tavif berubah menjadi sosok yang menakutkan bagi para cowok. Yang harus dijauhi. Yang harus dihindari. Di kampus juga demikian. Mereka memang berkuliah di perguruan tinggi dan jurusan yang sama. Ada satu yang tidak pernah berubah. Hantin dan Tavif selalu ingin tampil bersama dan serupa. Demikian juga aksesoris lain seperti jam tangan, sepatu, tas, bando, dll dsb dst. “Pernah ada cowok yang nekat mendekati Tavif. Sudah ditolak tapi terus maju tak gentar. Akhirnya kami memberi syarat: kalau memang mau jadian sama Tavif, harus membelikan sepatu baru untuk kami. Kembaran. Merek branded,” cerita Hantin, disambung tawa panjang. Terpingkal-pingkal. “Om Jos tahu apa yang terjadi kemudian? Kami memang dibelikan sepatu kembar dengan merek ternama. Keren. Tapi (Hantin tertawa tanpa bisa ditahan) sepatu itu dibeli di trotoar Praban. KW 21.” Benih-benih perpecahan terasa sejak itu. Tavif yang berniat menerima cowok tadi ditentang habis-habisan. Hantin memakai dalil pokoknya. Pokoknya jangan. Kalau memang mau menerima cowok, harus disetujui bersama. Sampai akhirnya muncul ide. “Saya merasa bahwa selama ini kami selalu punya keinginan dan hobi yang sama (walau sepertinya ini hanya perasaan Hantin, red). Dalam segala hal. Makanya saya mengusulkan ke Tavif begini: agar kita tidak berselisih paham lagi, bagaimana kalau kita mencari pacar saudara kembar. Aku macari kakaknya, dia (Tavif, red) adiknya. Adil kan?” kata Hantin. Meski ragu, Tavif akhirnya setuju. Ide yang muncul pada semester tiga-empat itu ternyata tidak mudah diwujudkan. Hingga mereka duduk pada semester enam, tidak ada satu pun saudara kembar yang mereka temukan dan cocok. Tavif mulai protes. Membantah keinginan Hantin. Dia berpendapat supaya masalah cowok ini diperkecualikan. Artinya, tidak usah dicarikan kembaran-kembaran. Alami saja. Mereka boleh jadian sama siapa saja tanpa harus ada campur tangan masing-masing pihak lain. Siapa saja di antara mereka yang mendapat pacar terlebih dulu, bahkan menikah lebih, tidak boleh dilarang. Hantin ngambek. Lebih dari tiga bulan. Ujug-ujug dia menemui Tavif dan menawarkan ide baru. Tavif yang sebenarnya memang sudah kangen bertemu Hantin mendengarkan ide tadi dengan seksama. “Kita sudah seperti ini,” kata Hantin sambil menempelkan jari telunjuk dan jari tengah. Mepet. Erat sekali. “Kita adalah dua tubuh satu jiwa,” lanjutnya. “Maksudmu?” tanya Tavif. “Kita cari cowok bersama. Yang kamu cintai sekaligus yang aku cintai. Lalu kita jadikan dia suami bersama. Two in one,” kata Hantin sambil menatap lekat-lekat mata Tavif. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih      

Sumber: