Air Santri Sidogiri

Air Santri Sidogiri

SUDAH sebulan ini, keluarga kami menggunakan air santri, produksi Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Baik yang galon, botol 600 ml, maupun yang gelas. Untuk pembelian pertama, tidak masalah karena membeli banyak, agennya mau mengantar. Sedangkan yang kedua, tak mau, karena kurang dari 5 galon atau menambah beli botol maupun gelas. Bisa dipahami, jaraknya lumayan, agennya di Menur, rumah kami di Taman Intan Nginden. Saya tak mau menyerah untuk kembali kepada air semula. Harus diusahakan, harus diikhtiarkan. Beli sendiri, ambil sendiri. Kini, sudah tahu rutenya. Pagi senam di Graha Pena, pulangnya lewat toko Sakinah Jemursari. Pertama, saya kecele, karena Sakinah tidak terima galon merek lain. Padahal yang di agen boleh, meski dihargai murah, tapi tetap lumayan. Alasan pindah ke Santri? Semoga dinilai sebagai ibadah karena membeli produk saudara sendiri. Bukankah ada trend GBWT dan GBWS: Gerakan belanja di warung tetangga dan gerakan belanja di warung saudara. Apalagi, kalau baca proses produksinya. Setiap santri/pekerja harus wudhu dulu sebelum memasuki pabrik. Setelah semua kumpul, ada doa pagi yang dipimpin kepala pabrik. ‘’Seminggu sekali kami ada istighotsah, doa bersama,’’ kata Mustain Mahdlori, manager HRD, Air Santri. Tak mudah meyakinkan GBWT dan GBWS kepada siapa pun juga. Contohnya, masjid kami, Sabiilus Salam, masih menggunakan merek umum. Alasannya: murah dan layanannya cepat. Ditaruh sampai gudang penyimpanan. Saya semakin fanatik kepada Santri karena mengetahui misi pondok pesantren yang sangat mulia. Memperdayakan santri dan menyejahterakan masyarakat. Santrinya dipekerjakan. Bahkan, diajari berbisnis berdasar ekonomi Islam, sedangkan masyarakat dibuatkan lapak-lapak untuk jualan. Program Qoryah Thoyyibah atau Desa Sejahtera misalnya, telah membedah rumah-rumah kurang layak huni di lima desa di sekitar Kraton tempat pondok pesantren ini berada. Misi Koperasinya apa lagi, sungguh mulia: ingin melepaskan warga dari rentenir. ‘’Kisahnya pada 1996 rentenir sedang ramai masuk Pasuruan, kami ingin melawannya. Kebetulan ada dosen Unibraw yang baru pulang dari Banglades dan ketemu Prof Dr Muhammad Yunus, peraih nobel perdamaian karena bisa melepaskan pengrajin bambu dari jeratan rentenir. Semangat itulah yang kita tiru,’’ kata H Mahmud Ali Zein, Ketua Koperasi Batul Mal wa Tamsil Maslahah Mursalah lil Ummah (BMT MMU) yang berdiri pada 1997. Tiga tahun kemudian, lahirlah Koperasi baru BMT Usaha Gabungan Terpadu yang antara lain membawa BPR, Minimarket Basmalah, Air Santri, apartemen mahasantri, travel haji dan umroh dll. Jadi, meski ketika RAT, Rapat Anggota Tahun, terlihat seperti pengajian karena semuanya berpeci dan sarungan, sebetulnya mereka sedang membahas aset, omset, dan sisa hasil usaha yang triliunan. Maka, mereka sangat gagah dan menolak dengan tegas ketika ditawari bergabung dengan YPP (Yayasan Pondok Pesantren) yang digagas Bos RCTI Harry Tanoesodibyo. Bahkan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) ditolak Sidogiri secara halus. Santri yang mondok pun tiap bulan hanya bayar Rp 100 ribu untuk air listrik dan tidur, diluar makan dan laundry. Semangat pesantren salaf yang didirikan oleh Sayyed Sulaiman bin Abdurrahman Basyaiban keturunan kempat Sunan Gunung Jati pada tahun 1745 ini, memang sangat hati-hati terhadap subhat, hal-hal yang meragukan. Khawatir proses belajar mengajar santrinya kurang berkah. Sebuah contoh yang sangat gagah. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembir Indonesia (KGI)

Sumber: