Ketika Kaum Pembantu Berebut Kehangatan Juragan Lelaki (2)
Suami Dibebaskan Ber-Apa Saja asal Uang Arisan Tidak Telat
Sebagai sesama pembantu, Nanik merasa disepelekan. Tidak dihargai. Apalagi sejak dekat juragannya, Parem sok jual mahal. Tidak lagi mau bareng-bareng pergi belanja. Sekadar gegojekan pun tidak mau. Pak Candra pun jadi jarang mengajak omong. Kalau menyuruh hanya memanggil hai-hai tanpa menyebut nama. Kebiasaan Pak Candra bagi-bagi kue sepulang kerja juga tidak lagi dilakukan. Kue-kue tadi hanya ditaruh di piring dan digeletakkan di ruang keluarga. Ketika semua anggota keluarga selesai kumpul-kumpul, kue-kuenya langsung ludes. Tidak tersisa secuil pun. Padahal, biasanya Nanik dijatah sendiri. Dibungkus kertas atau dimasukkan tas kresek. Sekarang, setiap Pak Candra pulang bawa kue-kue, Nanik hanya bisa ngelek idu. Ngaplo. Sebaliknya, Nanik pernah memergoki Pak Candra membungkus kue-kue yang dibawa sepulang kerja. Tapi bukan untuk dirinya, melainkan untuk Parem dan diberikan tengah malam setelah melompati pagar tembok belakang. Semakin lama sikap Parem dan Pak Candra dirasakan Nanik semakin bikin sakit hati. Dada Nanik sampai nyeri dan cekot-cekot. Ingin balas dendam. Tapi, apa yang harus dilakukan? Untuk sementara yang bisa dilakukan Nanik hanya tutup mata atas kenyataan yang dilakoni Parem dan Pak Candra. Pura-pura tidak melihat. Pura-pura gak ngreken. Hanya, Nanik kadang-kadang kasihan kepada juragan perempuannya. Tapi, tidak juga begitu-begitu amat sih. Sebab, juragan perempuannya toh cuek banget. Sepertinya tidak memedulikan apa pun yang dilakukan suaminya. Pak Candra pulang telat, misalnya, dibiarin aja; Pak Candra tidak pulang beberapa hari pun dicuekin. Bagi juragan perempuannya, sebut saja Mamik: apa pun silakan dilalukan suami, yang penting makanan di rumah melimpah dan uang arisan tidak pernah telat. Itu sudah cukup. Karenanya, jangan kaget kalau semakin ke sini, tubuh Bu Mamik semakin tidak terkendali. Terakhir Nanik melihat angka timbangan Bu Mamik mencapai 97 kg. Toh begitu, orangnya cuek bebek. Kalau ada yang nggojoki, paling hanya dijawab begini, “Siapa bilang aku gemuk? Cuma, panjang dan lebar tubuhku tak imbang.” Itu saja. Makanya jangan terburu memarahi Nanik kalau tidak punya keinginan kuat untuk melaporkan kelakuan Pak Candra vs Parem. Dia lebih memilih cara lain untuk mengekspresikan sakit hatinya kepada Parem. Ide itu muncul ketika teman sedesanya, Astuti, mampir ke tempat kerjanya. Nanik sempat kaget karena tidak biasanya disamperin Astuti yang kabarnya sudah hidup mapan itu. Pekerjaannya sebagai terapis pijat mampu mengubah kehidupan Astuti dari serba kekurangan jadi jauh lebih baik. “Nggak ada pekeraan tah?” tanya Astuti saat itu. Otak Nanik segera bekerja dan akhirnya menemukan ide. Maka, diajaknya Astuti bekerja sama. Janda syantik satu anak tersebut diminta menggantikan posisinya sementara. Tujuannya satu: goda dan jadikan Pak Candra bertekuk lutut. Dengan begitu, juragannya akan meninggalkan Parem. Kesyantikan dan bodi pekerti Tuti yang aduhai bisa dijadikan modal. Tuti langsung setuju. Sebab, di tengah pandemi corona ini, tempat pijatnya relatif sepi. Sehari paling hanya melayani satu-dua tamu. Sebagian temannya malah sudah ada yang dirumahkan. Padahal biasanya dia minimal melayani tujuh sampai sepukul tamu. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: