Resonansi Asmara SPG Syantik, Lemah Lembut, dan Seksi (5)

Resonansi Asmara SPG Syantik, Lemah Lembut, dan Seksi (5)

Wulan Tidak Menjawab Siapa Lelaki yang Membuatnya Hamil

Perjalanan dari tempat praktik dokter ke rumah yang hanya setengah jam dirasakan Arifin seperti setengah tahun. Selama itu hatinya mendidih. Dia kecewa karena selama ini ditipu mentah-mentah oleh perempuan yang dia cintai. Dari kaca spion tengah yang sengaja diarahkan ke wajah Wulan—tentu saja tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, Arifin melihat wajah tersebut amat tegang. Lebih tegang dibandingkan ketegangan di wajahnya. Mereka sama-sama diam. Meliarkan imajinasi yang berkecamuk dengan sayap-sayap membentang ke segala penjuru mata angin. Tidak ada yang mau membuka percakapan. Ketegangan menguasai waktu dan jarak keduanya yang tidak lebih dari setengah meter. Begitu memasuki gerbang pagar rumah dan turun dari mobil, Arifin tak dapat lagi mampu menguasai hati. Secepat kilat dia masuk rumah dan membanting pintu sekuat tenaga. Wulan menyusul berjalan lunglai. Tubuhnya seperti tak disangga tulang. Sambil menahan isak dia masuk kamar dan bibirnya bergetar mengucap, “Maafkan aku.” Malam itu terjadilah perang. Tidak seramai pertikaian di sinetron atau FTV-FTV di layar kaca, tapi cekamannya lebih dari ketegangan karet gelang yang ditarik sampai hampir putus. Pilihan diam itu terus dilakukan Arifin sambil menunggu kelahiran bayi Wulan. “Sejak malam itu kami pisah ranjang. Aku menunggu sampai bayinya lahir, terus cerai,” kata Arifin. Yang jelas, dia merelakan dirinya jadi ayah status bagi sang bayi. Kasihan masa depannya. Tindak-tanduk Wulan yang selama ini selalu andap asor kepada orang tua serta  tunduk patuh terhadap suami dianggap Arifin sebagai drama. Sikap kepura-puraan untuk sekadar menutup aib. Pertanyaan mendasar yang dipikirkan Arifin: pantaskah kesalahan seperti itu dimaafkan? Sebab, bisa saja Wulan terjebak situasi dan kondisi yang membuat dia tidak bisa lepas dari suatu kejadian. Tapi, mengapa harus ditutup-tutupi? Berjuta kemungkinan berkecamuk, berjuta kesangsian mengaduk-aduk nalarnya. Butuh kesendirian panjang sebelum dia memutuskan apa yang akan dilakukan. Sejatinya putra ketiga dari dinasti pengusaha kuliner yang memiliki cabang di kota-kota besar ini tak bisa menerima ketidakjujuran Wulan. Dia merasa dijebak agar jadi bapak bagi bayi yang dikandung Wulan. Namun, Arifin mencoba berpikir disertai hati. Membuka perasaan untuk berperan. Makanya dia sempat memberikan alternatif penyelesaian kepada Wulan. Arifin bersedia terus menjalankan biduk rumah tangganya vs Wulan asalkan istrinya bersedia mengaku siapa yang menghamilinya. Arifin berencana menyelesaikan masalah ini dengan berbicara empat mata dengan lelaki tersebut. Tapi, faktanya Wulan bersikeras tidak mau—atau lebih tepatnya tidak bisa?—menyebut  nama lelaki yang membuatnya hamil. Terpaksalah Arifin mengambil langkah tegas: bercerai! (bersambung)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: