Panah Asmara yang Menembus Dua Titik Sasaran Berbeda (4)

Panah Asmara yang Menembus Dua Titik Sasaran Berbeda (4)

11:12:13 vs Suami Almarhumah Asanti vs Almarhum Suami Susanti

Indra mengaku sebenarnya sudah lama merasa tidak ada kecocokan lagi vs Nana. Sejak perempuan itu bersikap bossy setelah jabatannya semakin tinggi dan gajinya semakin wow… Indra mengakui pedapatan Nana makin jauh meninggalkan pendapatannya sebagai sopir taksi online. “Tapi, seharusnya dia ingat kalau kenaikasn pangkatnya selalu memakai uang sogokan hasil perasan keringatku yang harus lembur sehari nyaris 24 jam,” kata Indra. Pemilik luka baret di pipi karena sabetan tukang palak ini mengaku semakin hari semakin tidak kerasan berada di rumah. Sudah tidak ada anak, setiap bertemu istri pasti diwarnai kemarahan dan kemarahan. Indra merasa dirinya tidak lebih dari seorang kacung yang harus rela disuruh-suruh dan disalah-salahkan, Bahkan dibentak-bentak. Yang membuat Indra kesal. Kini Nana punya kebiasaan baru: selalu mengancam minta cerai setiap bertengkar. Suatu hari, setelah terlibat pertengkaran besar-besaran dengan Nana, Indra berjalan tak tentu arah sampai ke gerbang perumahan. Ia mendekati rombong bakso dan duduk di bangku kecil yang disediakan si abang bakso. Indra memindahkan pentolan-pentolan bakso dari mangkuk di tangan kirinya ke mulut tanpa merasakan panas-dinginnya kuah. Tanpa merasakan pedasnya sambal. Bahkan tanpa menyadari kehadiran seorang perempuan yang dia kenal. “Assalamualaikum,” sapa perempuan itu. Susanti. Indra bergeming. Tidak menoleh, apalagi menjawab. “Assalamualaikum, Pak Indra,” kata Susanti mengulangi sapaannya. Indra masih belum merespons. Dia menyendok pentol bakso terakhir dari mangkuknya dan hendak memasukkan ke mulut. “Pak, disapa Bu Dewanti ini lho,” kata penjual bakso sambil menepuk pundak Indra. Gragap… Indra terkejut. Tangannya bergerak tak terkontrol hingga sendok berisi pentol tadi menyenggol dagunya dan terjatuh. “Maaf,” katanya sambil memandang Susanti lekat-lekat. “Monggo pinarak Bu,” tambahnya sambil bergeser, menyisakan jatah tempat duduk untuk satu orang di bangku kecil yang didudukinya. Pulang dari tukang bakso, mereka berjalan kaki pulang. Berduaan. Tempat tinggal mereka memang searah. Cuma, rumah Indra lebih jauh ke dalam, sedangkan rumah dan tempat usaha Susanti hanya berjarak beberapa langkah dari gerbang. Sesampai di depan rumahnya, Susanti memersilakan Indra mampir. Mungkin sekadar iseng, tapi di telinga Indra ini seperti kesempatan yang sudah lama dia nanti-nantikan. Mereka ngobrol di ruang depan, yang sengaja didesain terbuka untuk menerima para pelanggan laundry. Susanti menemani ngobrol Indra sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk menerima kedatangan pelanggan. Setelah obrolan ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, sampailah pembicaraan pada masa kecil mereka. Indra menceritakan masa kecilnya di Trenggalek bersama Dewanti Asanti, saudara kembar Dewani Susanti. Banyak kenangan indah yang diungkapkan Indra, dan Susanti dengan penuh perhatian mendengarkan. Sesekali Susanti menyela dengan menyatakan sikapnya sangat mirip dengan sikap kakak kembarnya. Bahkan tipe lelaki idaman mereka pun tidak jauh berbeda. “Kalau Pak Indra kurang percaya, lihat foto ini,” kata Susanti sambil memperlihatkan dua lembar foto pengantin. Foto pasangan Dewanti Susanti vs almarhum suaminya dan foto pasangan almarhumah Dewanti Asanti vs suaminya. Melihat foto-foto itu, Indra merasa bahwa lelaki yang berdiri di samping Susanti dan Asanti adalah dirinya sendiri. Mereka bertiga memang 11:12:13. (bersambung)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: