Cinta pada Pandangan Pertama yang Berakhir tanpa Ikatan (3 – habis)

Cinta pada Pandangan Pertama yang Berakhir tanpa Ikatan (3 – habis)

“Bapak Ngapain di Sini? Gak Pakai Baju Lagi. Masuk Angin Lho”

Tanpa menunggu dipersilakan, yang menggedor pintu kamar hotel berdesakan masuk. Tidak hanya satu-dua, melainkan lebih dari 20 orang. Intan langsung berdiri dan lari keluar kamar. “Bapak ngapain di sini? Gak pakai baju lagi. Masuk angin lho,” kata Yoyok mengulangi ucapan saat ramai-ramai memecundangi Ableh. Ia bersama rekan-rekan kuliah. “Sejak itu Pak Ableh tidak terlihat lagi di kampus. Mungkin malu. Kabarnya beliau pindah dan mengajar di luar Jawa,” kata Yoyok tanpa bisa menyembunyikan tawa. Wk wk wk wc wc wc… Sejenak kemudian Yoyok mengambil napas panjang. “Itulah kenangan manis bersama Intan, Om. Kenangan yang tidak mungkin terlupakan. Intan sudah bahagia di sana,” sambung Yoyok. Kali ini nadanya penuh kesedihan. Dari bibirnya bahkan terdengar suara mingsek-mingsek. Suara tangis tertahan yang sangat menyakitkan. Yang terasa menyayat dan nyeri. Tak hanya itu, terlihat pantulan cahaya dari butiran air yang luruh di ujung mata. Yoyok kemudian mengeluarkan lembaran kertas kumel dari dompet. Mungkin karena puluhan, bahkan ratusan kali, dikeluar-masukkan dompet. Bahkan mungkin berkali-kali pula tertetesi air mata Yoyok. “Dulu ada lima lembar. Sekarang kini tinggal ini. Selebihnya hancur karena sering basah kena air mata,” tutur Yoyok. Lirih. Nyaris tak terdengar. Yang jelas, imbuh Yoyok, isinya menyiratkan kekecewaan Intan karena dia tidak mau menghamilinya. Padahal, dengan penyerahan diri secara total, Intan ingin membuktikan cintanya yang sangat tulus. Sebaliknya, dia juga bisa mengukur kesungguhan Yoyok dalam mencintai Intan. Malam itu Intan memaksa Yoyok menghamilinya karena esoknya Intan sudah harus menikah dengan lelaki hasil perjodohan orang tua. Dia terpaksa kabur dari pingitan hanya untuk menemui Yoyok. “Andai kamu berani menghamili aku, itu artinya kamu siap bertanggung jawab. Aku rela kabur bersamamu. Tapi aku kecewa. Kamu bukan lelaki sekokoh yang kuharapkan,” begitu bunyi salah satu kalimat di kertas kumel di tangan Yoyok. Menurut Yoyok, surat itu ditinggalkan Intan di kursi Taman Bungkul, tempat mereka bertemu. Intan meninggalkannya begitu saja karena Yoyok tidak menanggapi permintaan Intan untuk menghamili gadis tersebut. “Waktu itu aku tidak paham maksud permintaannya. Yang jelas, sejak itu Intan tidak pernah kembali. Ke keluarganya atau ke tempat lain. Tidak ada yang tahu ke mana dia,” kata Yoyok, yang menambahkan bahwa berbagai upaya sudah dilakukan untuk mencari Intan, tapi tidak pernah berhasil. “Kalau menurut keluarganya?” tanya Memorandum. “Entahlah. Keluarga Intan diam-diam pindahan. Tidak tahu ke mana. Pak RT-nya tidak mau berterus terang. Ya sudah. Akhirnya kami berkesimpulan Intan sudah tiada,” kata Yoyok, yang menambahkan bahwa hatinya tetap berharap suatu saat Intan menghubunginya. “Atau Intan benar-benar sudah menikah dengan lelaki yang dijodohkan orang tuanya?” tanya Memorandum. “Entahlah. Mudah-mudahan. Dan, mudah-mudahan pula mereka hidup bahagia. Selamanya,” kata Yoyok sambil sembunyi-sembunyi menyeka air mata. (habis)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: