Mahasiswa Surabaya Jadi Pasar Narkoba, Kebanyakan Pengguna Aktif
Surabaya, memorandum.co.id - Genderang perang melawan narkoba terus dilakukan pihak kepolisian. Hampir setiap hari petugas berseragam cokelat ini menangkap tersangka mulai dari bandar, pengedar, kurir, dan penggunanya. Selain itu, barang bukti yang disita juga beragam jenisnya. Mulai sabu-sabu, ekstasi, ganja, hingga pil koplo. Jumlahnya pun dari kisaran paket hemat (skala kecil) hingga kilogram (skala besar). Tapi upaya pemberantasan yang dilakukan secara maksimal, sampai tindakan tegas menembak mati para bandar ternyata tidak membuat peredaran narkoba surut. Lebih ironis lagi, Indonesia merupakan ladang menggiurkan dalam menjalankan bisnis haram tersebut karena keuntungan yang didapat sangatlah besar. Tak pelak, jaringan narkoba internasional berlomba-lomba memasukkan barangnya ke wilayah Nusantara, dengan merekrut bandar-bandar besar Indonesia untuk melancarkan peredarannya. Berbagai cara dilakukan berikut mengiming-imingi pundi-pundi rupiah yang didapat cukup besar, membuat narkoba sangat efektif dan mudah akrab dengan siapa saja. Bukan rahasia umum lagi jika pengguna narkoba di Indonesia sudah sedemikan hebatnya menyentuh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pejabat, artis, mahasiswa, hingga warga sipil. Yang mencengangkan dan membuat semua pihak wajib cemas, kebanyakan mahasiswa di Surabaya ternyata sebagai pengguna aktif narkoba. Dari kasus yang pernah ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Surabaya, ada beberapa klien yang berasal dari mahasiswa atas kepedulian orangtua yang curiga atas perubahan sikap anaknya. Gejala itu terlihat karena sang anak yang awalnya rajin kuliah tiba-tiba protol, uang SPP juga tidak dibayar. Dari kecurigaan ini, akhirnya orangtua memilih lapor ke BNNK Surabaya. "Setelah kita jemput klien tersebut dan tes urine hasilnya positif," ujar Kasi Rehabilitasi BNNK Surabaya Singgih Widi Pratomo. Lanjutnya, narkotika yang paling banyak dikonsumsi di kalangan mahasiswa adalah jenis sabu. Termasuk juga ganja, dan ekstasi. Namun, untuk ekstasi saat ini mulai jarang mungkin karena tutupnya tempat hiburan malam dan pembatasan jam malam sejak Covid-19. "Kenapa dipilih narkotika golongan stimulan (sabu dan ekstasi) itu memang cirinya membuat seseorang merasa tidak capai, kuat melek, semangat luar biasa," ujarnya. Kalau jaringan kampus, Singgih tidak membantah karena kemungkinan semuanya ada. Sebab, pengguna narkotika tidak mengenal usia, tidak mengenal pendidikan, dan tidak mengenal profesi. "Kalau kita lihat, hampir semuanya ada. Mulai profesor, sampai yang tidak pernah sekolah pun. Mulai dari mantan hakim mahkamah konstitusi, orang tidak punya pekerjaan juga ada. Jadi narkotika itu sebuah proxy war yang bisa mengancam semua kalangan," tambah Singgih. Di seksi rehabilitasi sendiri, untuk jumlah pengguna narkotika di kalangan mahasiswa fluktuatif. Seperti pada 2015 (16 orang), 2016 (16 orang), 2017 (10 orang), 2018 (9 orang), 2019 (7 orang), dan 2020 hingga Juli (nihil). "Data yang kita dapat merupakan sumber klien dari volunteer. Itu mereka yang datang bukan terkait dengan masalah hukum. Volunteer itu bisa dari permintaan orangtua, keinginan diri sendiri, dan hasil razia dari satpol PP yang hanya positif urine tanpa adanya barang bukti narkotika," tegas Singgih. Selama ini, masih kata Singgih, data didapatkan yang paling banyak adalah hasil razia satpol PP. Mereka yang usai mengonsumsi narkotika beberapa hari kemudian terjaring razia saat cangkrukan, balap liar di jam tengah malam. "Dari situ yang paling banyak memang dari anak muda, Cuma tidak semuanya dari mahasiswa," beber Singgih. Singgih mengimbau kepada mahasiswa, bahwa sekali menggunakan narkotika akan merusak sistem pusat syaraf kita secara permanen. "Sementara kita ini bisa memiliki intelektual tinggi, memiliki daya analisa bagus, daya memori kuat, daya logika yang bagus apabila otak kita sehat," ungkapnya Belum lagi ancaman hukuman apabila terjadi penyalahgunaan narkotika. Secara tidak langsung, pengguna narkotika merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. "Apalagi kalau sudah ketergantungan, di mana tiap hari harus memerlukan narkotika sehingga mau tidak mau akan mengurangi atau merusak perekonomian pribadi atau keluarganya. Sehingga tingkat kriminal juga akan meningkat," pungkas Singgih. (fer/nov)
Sumber: