Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (35)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (35)

Sosok Laila Perlahan Mengecil, Mengecil, dan Menjadi Sebuah Titik

Jedhar!!! Ledakan keras terdengar dahsyat di telinga Ghadi. Gendang telinganya nyaris terkoyak. Darah segar menetes. Panas. Menyengat. Ia usap pipi kiri yang basah. Ghadi memelongokan mulut untuk mengusir sisa udara panas yang bagai berputar-putar di rongga kepala. Tidak mudah tapi bisa. Sampai akhirnya mulai terasa lengang dan lega. Suami Putri Laila itu kemudian melompat menjauh ke tempat lapang. Dia masih bingung mencari dari mana suara menggelegar tadi berasal. Dirabanya seluruh tubuh. Utuh. Baru saat menurunkan tas yang selalu diselempangkan, Ghadi menemukan jawab. Bagian depan tas yang terbuat dari kulit badak itu terkoyak. Ada bekas terbakar. Dari celahnya, tampak benda bulat sebesar bola futsal membara. Ghadi kemudian meniup bola tersebut dan melumurinya dengan ludah. “Masya Allah, mengapa aku lupa telah diamanati menjadi pemelihara senjata Pakde Limin?” kata hati Ghadi sambil mengelus bola yang mulai mendingin. Ketika kali pertama belajar ilmu agama dan kadigdayan kepada Pakde Limin, Ghadi pernah diajari cara menggunakan senjata tersebut. “Bola ini suatu saat bakal ada di tanganmu. Entah kapan. Manfaatnya sangat besar. Mudarot-nya juga bisa besar. Karena itu, hati-hatilah memakainya,” pesan Pakde Limin wakt itu. Ghadi tidak menyangka bola tersebut akhirnya benar-benar sampai di tangannya, walau dengan cara tidak terduga. Ditemukan seorang pejuang di medan tempur tanpa diketahui keberadaan pemiliknya. Sudah tewas atau atau belum. Kalau sudah, di mana jenazahnya; kalau belum di mana posisinya. Pelan-pelan Ghadi membungkus kembali bola dengan kain sarung, membuang tas yang sudah terkoyak, dan membawanya ke ketinggian sunyi. Sebuah goa bermulut seperempat gawang tampak tertutup belukar. Ada di sisi selatan lereng. Ghadi masuk. Gelap. Bola dikeluarkan dan diusap halus. Nyala sewarna neon memijar. “Aku harus tahu keberadaan mereka,” kata Ghadi sembari meletakkan bola di atas batu. Mulutnya komat-kamit merapalkan doa dan mantra. Tidak lama kemudian bola terangkat dan berputar kencang. Tidak terlalu lama. Sekitar dua-tiga menit. Saat putaran berhenti, Ghadi melihat sosok Laila. Sosok tersebut perlahan mengecil, mengecil, dan mengecil sampai menjadi sebuah titik. Sementara itu, latar belakang titik yang tadinya buram sedikit demi sedikit menjadi terang dan menampakkan sebuah peta. Akhirnya sangat jelas bola itu menyampaikan informasi keberadaan Laila di daerah Antartika. Ghadi menangkap bola dan meletakkan kembali di tempat semula. Ia ulangi pembacaan doa dan mantra untuk mencari keberadaan Pakde Limin. Tidak ada reaksi. Bola bergeming diam. Meski doa dan mantra diulangi sampai tujuh kali, tidak ada reaksi. Bola tetap berada di tempatnya. Jangankan terangkat naik dan berputar, bergeser saja tidak. “Apakah ini berarti Pakde sudah benar-benar syahid?” kata hati Ghadi. Pemuda tersebut meneteskan air mata. Tapi tidak lama. Segera diusap. Beberapa saat kemudian dia membacakan doa dan mantra untuk mencari keberadaan Paman Karim. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: