Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (28)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (28)

Kaki Ghadi di Atas Mata Kaki pun Ditebas Pedang Tajam… Clings!

Memasuki hari kelima, luka di tumit Ghadi menunjukkan tanda-tunda membusuk. Obat yang diberikan Paman Karim untuk sementara tidak mampu menghambat sebaran bisa racun.   Kalau sampai keesokan malam utusan Paman Karim untuk mencari getah pohon mojo purba belum juga kembali, terpaksa sesuatu yang amat tidak diinginkan akan dilakukan. “Aku terpaksa harus memotong sebatas ini,” kata Paman Karim sambil memegang bagian atas mata kaki Ghadi. Semua yang berada di kamar diam. Hari itu diraskan semua orang berjalan lambat. Terutama oleh Ghadi. Mereka tidak henti-hentinya melongok keluar, berharap orang yang ditugasi mencari getah pohon mojo purba muncul. Tapi sia-sia. Di luar tidak terdengar apa pun. Tidak terlihat apa pun. Bahkan sampai sore keesokan hari. “Waktu kita tinggal tiga jam. Kalau dia (utusan pencari getah pohon mojo purba, red) tidak datang, persiapkan dirimu,” kata Paman Karim setengah putus asa. Ghadi mengangguk. Ternyata sampai lima menit menjelang deadline, utusan belum muncul juga. “Apa risikonya kalau kita mundur barang satu-dua jam, Guru?” tanya seorang pemuda. “Sebaran bisa racun itu naik dengan cepat. Kalau kita tunda barang dua jam saja, racun sudah sampai di atas lutut,” kata Paman Karim. “Dan,” imbuhnya, “Setelah itu dengan sangat cepat akan terus merangkak naik. Besok pagi sudah sampai jantung. Ghadi mati.” “Kalau Guru menambahkan ramuan pencegah penyebaran racun yang kapan hari Guru berikan untuk Kang Ghadi?” tanya pemuda tadi. “Tidak bisa. Itu sudah takaran maksimal. Lebih dari itu justru akan berbalik jadi faktor pendorong penyebaran.” Batas waktu akhirnya benar-benar habis. Eksekusi pun dilakukan. Dengan sebilah pedang yang sangat tajam, Paman Karim memotong kaki Ghadi. Tepat di atas mata kaki. Cling… des! Begitu selesai, pemuda tadi buru-buru berkata, “Guru, tidak bisakah kaki Kang Ghadi disambung dengan kaki orang yang sehat?” “Maksudmu?” “Kalau bisa, sekarang potong saja kakiku sebatas potongan kaki Kang Ghadi. Lalu sambungkan ke kaki beliau,” kata pemuda yang biasa dipanggil Imbron itu. “Jangan,” kata Ghadi tegas, “Jangan korbankan kakimu untuk aku. Aku sudah ikhlas.” Semua diam. Paman Karim membungkus potongan kaki Ghadi yang sudah busuk dan menghitam. Beberapa saat kemudian Paman Karim membuka sebuah kotak yang diambil dari bawah dipan. “Maukah kamu kalau kaki yang kupotong guganti dengan ini?” kata Paman Ghadi sembari mengeluarkan sesuatu dari kotak tadi. Semua mata tertuju kepada benda tersebut. Mereka tercengang. Sebagian bahkan menjerit tertahan. “Bisakah Guru?” tanya Imbron. “Bisa. Sekarang terserah Ghadi.” Ghadi sendiri masih tercengang dengan apa yang ditawarkan Paman Karim. Walau begitu, dia yakin sekali atas pilihan ahli pengobatan herbal tersebut. “Aku setuju. Apa yang terbaik bagi Paman, tentu terbaik juga bagiku,” kata Ghadi mantab. Pelan tapi pasti Paman Karim kemudian menyambung kaki Ghadi yang tinggal sebatas mata kaki dengan potongan kaki kuda yang entah sejak kapan disimpan di bawah dipan. Dalam waktu singkat kaki sudah tersambung sempurna dan dibalut rapi. “Tiga pekan lagi insya Allah sudah kering dan bisa dipakai beraktivitas,” kata Paman Karim. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: