Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (18)
Melihat Nuh Membersihkan Perahu Raksasa dan Bledek Melintas
Perselisihan Qabil vs Habil berlanjut. Untuk menyelesaikannya, Allah memberi solusi. Masing-masing diharuskan berkurban. Siapa yang kurbannya diterima, dialah yang berhak menikahi Iqlimiya. Qabil yang berprofesi sebagai petani berkurban dengan hasil panen. Ia memilih hasil panen itu. Yang terbaik disimpan untuk diri sendiri, sedangkan yang buruk dia kurbankan. Sementara itu, Habil yang peternak berkurban seekor kambing yang sehat lagi besar. Ia malu bila berkurban dengan mempersembahkan ternak sembarangan. Ternyata yang diterima persembahan kurban Habil. Fakta ini semakin membakar emosi Qabil. Diracuki kecemburuan yang memuncak, dia merancang pembunuhan terhadap Habil. Pada satu kesempatan, Qabil menghantan kepala Habil pakai sebilah kayu. Habil tersungkur dan tidak bergerak lagi. Dead. Mati. Qabil kaget dan kebingungan. Tampaknya dia menyesal. Lantas diangkatlah tubuh Habil dan digendong ke sana kemari. Tanpa henti. Qabil tidak tahu harus diapakan tubuh saudaranya itu. Saat lelah dan terduduk lunglai, dia melihat seekor burung gagak menggali tanah dan mengubur seekor gagak lain. Qabil pun meniru. Melihat adegan itu, Ghadi tersenyum. Dalam tayangan berikut yang melintas di benaknya, Ghadi melihat seseorang tanpa kenal lelah membersihkan sebuah bangunan raksasa di puncak sebuah gunung. Ghadi heran, bangunan apakah itu? Setelah mencermati lebih teliti, pendekar muda itu melihat bangunan yang sedang dibersihkan ternyata sebuah kapal. Ghadi lebih takjub. “Nuh sudah benar-benar gila, masa membuat perahu di atas gunung,” kata suara di belakangnya. Ghadi menoleh dan melihat beberapa orang bergerombol. Juga menyaksikan lelaki pembersih perahu. “Siapa Nuh?” tanyanya. “Dia,” kata satu dari orang-orang yang bergerombol sambil menunjuk lelaki yang sibuk mengelap dinding perahu. “Iya. Memang sudah gila,” kata yang lain. “Kisanak jangan dekat-dekat dengannya. Ntar ketularan gila. Sebelum ini, setiap hari kerjanya mengajak kami menyembah tuhannya. Tapi lucu. Tuhannya tidak kelihatan. Tidak seperti sesembahan kita, Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Bisa dilihat dan diraba. Tidak usah diterawang, sudah benar-benar nyata,” imbuh orang tadi sembari mengajak teman-temannya pergi. Ghadi berdiri termangu. Mengawasi lelaki yang dipanggil Nuh tadi. Tampaknya perahu raksasa yang kata orang-orang dibangun Nuh sudah tuntas dibersihkan. Ghadi mendekat dan mengucapkan salam, yang dijawab dengan salam pula. “Alhamdulillah kau sudah datang. Naiklah. Perahu sudah siap. Sebentar lagi para penumpang yang lain segera menyusul dan kita naik bersama,” kata Nuh. “Ke mana?” “Naik saja. Ini perintah Allah.” Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki. Bukan satu-dua, melainkan ribuan. Bergemuruh. Subhanallah. Ternyata bukan hanya manusia. Beragam satwa ada di antara mereka. Perhatian mata Ghadi tertuju kepada kuda betina berwarna putih yang gagah. “Bledek,” batin Ghadi, yang melihat langkah Bledek diikuti kuda yang lain. Jantan. Warnanya hitam pekat. “Petir,” gumamnya. Setelah semua berada di atas perahu, tiba-tiba petir menyambar. Angin menyapu keras. Hujan lebat turun. Badai. Langit yang semula terlihat biru berubah menjadi hitam. Awan begulung-gulung. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: