Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (5)
Kabur setelah Pertemuan Pertama, Dikejar Pasukan Istana
Andik sangat kecewa mendengar bahwa Laila ternyata sudah dijodohkan dengan pangeran. Dunia seperti runtuh. Tapi, mengapa gadis tersebut menerima ajakannya bertemu? “Apakah kamu benar-benar menyayangiku?” tiba-tiba Laila bertanya. Andik tidak segera menjawab. Ia menoleh. Mengarahkan pandangannya ke mata Laila. Menatapnya lekat-lekat. “Sangat-sangat sayang. Perasaan itu muncul ketika kali pertama kita bertemu. Ingat?” “Aku juga merasakan,” tutur Laila. Meski sudah memperkirakan perasaan Laila, tak urung untaian kata yang keluar dari bibir basah Laila mengguncang dadanya. Ternyata perasaannya tidak salah. Cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. “Orang tuamu? Apakah merestui?” pancing Andik. “Itu tidak penting. Justru aku yang seharusnya bertanya kepadamu.” “Apa?” “Bertanggung jawabkah kamu atas cintamu?” “Sangat.” “Kalau begitu bawa aku pergi.” “Kapan? Ke mana?” “Sekarang juga. Bawa aku ke mana pun engkau mau.” Kalimat ini mengejutkan Andik. Sekarang? Secepat itukah? Lalu ke mana? Dua pertanyaan ini berkecamuk di benaknya. Laila tampaknya bisa menerka pikiran Andik. “Asal ada cinta di hatimu, hati kita, semua rintangan pasti bisa kita lalui,” kata Laila, “Kamu juga tidak harus minta izin orang tua yang bersamamu ketika kita bertemu tempo hari kan?” “Dia bukan orang tuaku. Pakdeku.” “Sama saja.” Andik mendadak gemetaran. Keringat dingin mengguyur tubuh. Tiba-tiba dia ingat janjinya kepada Pakde Limin. Kalau dia pergi mendadak tanpa pamit, tentu akan mencarinya ke seluruh sudut dunia jin. “Kamu takut?” tanya Laila membuyarkan pikiran Andik. “Tidak,” sahutnya ketika matanya ditatap tajam pandangan Laila. Cinta sudah mengalahkan segalanya. “Kalau begitu kita harus segera meninggalkan tempat ini. Ayah dan tentaranya pasti akan mencariku ketika sadar aku tidak ada di istana,” kata Laila sambil menggandeng lengan Andik menuju pojok taman. Di sana sudah tertambat seekor kuda tinggi besar warna putih di antara mobil-mobil yang terparkir rapi. “Semua bekal kita sudah ada di tas besar ini. Tidak akan habis untuk tujuh turunan kita,” kata Laila sambil melompat ke punggung kuda dan meminta Andik duduk di belakangnya, “Kamu pasti belum bisa mengendalikan kuda. Biar aku yang pegang kendali.” Sekejap mata kemudian kuda—yang menurut Andik diberi nama Bledek—putih itu sudah berlari kencang menembus keramian. Bersamaan dengan itu terdengar sirine meraung-raung. “Itu tentara Ayah. Mereka pasti mencari aku. Tampaknya sudah ada yang melihat lesatan kuda ini. Kita harus semakin cepat. Rangkul pinggulku. Tidak hanya pasukan bermotor, Ayah pasti juga mengerahkan pasukan kuda.” Tanpa ragu Andik melingkarkan lengannya ke perut Laila. Dia juga menempelkan wajahnya ke punggung perempuan yang ternyata teramat sangat cantik sekali itu. Wangi. Tidak seperti yang dikatakan Pakde Limin. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: