Keperawanan Keponakan pun Hilang karena Dendam

Keperawanan Keponakan pun Hilang karena Dendam

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Perang saudara Toni vs Jono berlangsung amat sengit. Ya cakar-cakaran. Ya saling pukul dan tending. Kadang hanya saling mengejek. Itu terjadi hampir setiap saat. Mereka sudah tidak tampak lagi sebagai saudara, melainkan lebih seperti Tom and Jerry di film-film kartun. Bila sebelumnya kehidupannya relatif tak pernah tersentuh masalah, kini Ningsih mulai merasakannya. Mulanya terimbas tingkah laku Jono yang doyan bermain perempauan di luar rumah. Banyak wanita yang menuntut tanggung jawab. Selain yang muda dan kinyis-kinyis, hingga wanita berumur yang hampir memasuki masa expired. Masa kedaluwarsa. Semua jadi korban keganasan Jono. Sebagian dari mereka bahkan datang ke rumah Ningsih di kawasan Sawahan dengan perut besar. “Aku tidak bisa lagi bersikap acuh. Apalagi, sudah beberapa waktu Jono tidak pernah pulang,” kata Ningsih. Awalnya Ningsih mencoba menyelesaikan tuntutan korban-korban suaminya dengan memberikan ganti rugi kepada mereka. Tapi, setelah sadar bahwa jumlah mereka tak bisa diperkirakan, Ningsih akhirnya turut kabur dari rumah. Untung tidak ada anak-anak yang harus ditanggung. Ia kembali ke rumah orang tuanya di daerah Wiyung. Cuma sesekali dia menengok rumahnya, untuk memberi makan beberapa hewan piaraan dan menyiram tanaman. “Jujur saja aku tidak ingin mencari Jono. Anggap saja ini adalah karma dari segala perbuatan dia sendiri,” tutur Ningsih, yang mengaku masih bisa bertahan karena hidup dari deposito. Ningsih yakin bahwa hidup seperti roda berputar. Karena itu, ketika bergelimang harta dari suami, dia selalu menyisihkannya untuk ditabung dan didepositokan. “Aku memang terobsesi hidup mewah, tapi aku tak pernah lupa untuk menabung. Untuk jaga-jaga,” tambahnya. Suatu saat tiba-tiba Ningsih dikejutkan kemunculan Toni dan istrinya. “Hatiku langsung dheg! Pasti akan meletus perang besar. Mereka pasti mencari Jono dan ada sesuatu terjadi di antara mereka,” imbuhnya. Namun, dugaan Ningsih meleset. Mereka sedang mencari putri kedua mereka yang sudah beberapa pekan menghilang. “Dia tidak ke sini, Mbak, Mas. Mungkin ke rumah teman-temannya,” kata Ningsih sambil memberikan pandangan kepada saudara iparnya itu. Pada kesempatan itu Ningsih juga mengatakan bahwa beberapa hari ini suaminya pun tidak pernah pulang. HP-nya tidak dapat dihubungi. “Mereka mendengarkan aku, tapi sepertinya tidak peduli. Ya sudah,” kata Ningsih. Nadanya datar-datar saja. Memorandum sempat menilai wanita ini kok santai-santai saja ya menghadapi persoalan? Beberapa hari kemudian, Ningsih mendengar kabar bahwa keponakannya sudah ditemukan. Lebih tepatnya: sudah pulang. Namun, sejak kepulangannya itu, si keponakan, sebut saja Nia, selalu mengurung diri di kamar. Nia juga tak pernah berhenti menangis. Tak mau makan, tak mau sekolah, bahkan tak mau mandi atau beraktivitas apa pun. Akhirnya karena jengkel, Toni dan istrinya memaksa Nia mengaku ada apa. Kali ini disertai ancaman: kalau nggak ngaku akan diusir dari rumah. Apa pengakuan Nia? Sangat mengejutkan. “Kenapa mau tahu urusan orang? Aku sudah tidak suci lagi. Aku sudah rusak. Hancur! Kenapa?” katanya, seperti ditirukan Ningsih. (bersambung)  

Sumber: