Nasi Shirataki atau Tidak Sama Sekali

Nasi Shirataki atau Tidak Sama Sekali

Mau sehat? Pasti. Tapi, kalau syaratnya tidak makan nasi? Tunggu dulu. Beruntung, dulu klub SDI (Senam Dahlan Iskan) punya member yang dokter. Namanya dr Dwi Koryanto Sp.BS. Karena dokter, kepadanyalah, kita semua bertanya tentang apa saja menyangkut ihwal kesehatan. Karena, banyak yang bertanya, maka disepakati ada dialog sehat pascasenam di ruang meeting JTV. "Kita sudah bertahun-tahun mengonsumsi karbo berat yang berbasis nasi. Indeks glikemiknya tinggi yang bisa menyebabkan diabetes. Sudah waktunya kita berhenti makan nasi dan menggantinya dengan karbo lainnya, dari sayuran dan buah. Kecambah misalnya," kata dr spesialis bedah saraf tulang belakang ini. "Itulah smart eating," katanya. Awal-awalnya ada beberapa anggota yang mencoba mempraktikkan. Tapi, hanya bertahan beberapa hari. Itu terlihat saat SDI bikin acara yang ada makan besarnya, ternyata semuanya masih mengambil nasi atau lontong. Padahal, dr Dwi mengatakan stop makan karbo berat apa saja: nasi, lontong, beras merah, gandum. "Berat Pak," seperti belum makan kata mereka. Kini, peserta SDI dapat contoh kongkritnya. Beberapa kali Akung Rudi dari Cowas --seduluran konco lawas JP Group-- datang di SDI di sela-sela sepedaannya. Teman-teman Cowas yang aktif senam tahu persis bagaimana Rudi ketika masih aktif di JP dulu, tubuhnya subur. "Saya pernah 90 kilo," katanya. Kini, dia langsing dan terlihat sangat muda. "Sekarang saya 67 kilo," kata Rudi yang kemarin berulang tahun ke 56 dan mampir lagi di acara senam di Graha pena. Setiap yang bertemu selalu bertanya apa resepnya. "Saya sudah tiga tahun ini, tidak makan nasi," katanya. Persis seperti yang dikatakan dr Dwi, Rudi hanya mengonsumsi sayur dan buah sebagai pengganti karbohidratnya. Seperti dr Dwi juga, Rudi mengamalkan puasa Daud, sehari puasa sehari tidak. "Ya, monggo. Hidup itu pilihan. Saya memilih tidak makan nasi," kata Rudi yang termotivasi ingin sehat karena ingin menjaga cucunya yang kini sudah yatim itu. Ditanya tidak lapar? "Tidak. Sejak tidak makan nasi, saya terbiasa makan sedikit. Itu pun saya mulai pukul 12 siang. Saya sudah berhenti makan, maksimal pukul 7 malam," katanya. "Tentu saya minum banyak pada pagi hari," katanya. "Begitu saya dapat info dahsyatnya, tidak makan nasi, seketika itu, saya niati. Bismillah. Tanpa tahapan-tahapan. Jadi, menurut saya, kuncinya satu: niatnya harus kuat," katanya. Dahlan Iskan lain lagi. Dia juga mengurangi karbo. Tapi, masih mengonsumsinya. Hanya karbonya beda, yakni shirataki nasi yang terbuat dari tanaman porang atau ada yang mengatakan iles-iles, umbi-umbian yang biasanya terdapat di hutan. DI saat masih menjadi menteri mengampanyekan tanaman porang ini. Kini, banyak sekali petani di sekitaran Madiun yang telah mendapat rejeki besar karena porangnya yang diekspor ke Jepang, China, Australia dan lain-lain. Selain untuk pengganti nasi, porang juga untuk bahan kosmetika. Apa kelebihannya sehingga para pelaku diet mengomsumsinya? Menurut Kontan.CO. ID ada lima kelebihan shirataki. 1. Tanpa kalori, lemak, dan karbohidrat. 2. Tinggi serat, bisa menyerap air dan menjadi gel sehingga awet kenyang 3. Menurunkan gula darah 4. Menurunkan kolesterol 5. Antisembelit. Sayangnya, harganya masih mahal. Per kilo sekitar Rp 200 ribuan. Terserah. Kata Rudi: hidup adalah pilihan. Silakan memilih shirataki atau tidak makan nasi sama sekali. Atau tetap makan nasi seperti biasanya sambil berharap tetap sehat wal afiyat. Apa ada? Mari berikhtiar sehat dengan riang gembira. Salam!(*) *Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: