HBD JP, Semoga Seribu Tahun Lagi
Oleh: Ali Murtadlo "Bener ta Mas? Coba dipikir-pikir lagi," kata Bos Wenny, Dirut JP Holding mengomentari WA yang saya kirim 11 hari sebelum RUPS. Setelah 30 tahun bersama Jawa Pos --baik di korannya, Radarnya, JTV, dan JP Books-- saya sudah merasa sangat cukup. Untuk tidak mengatakan terlalu tua untuk bekerja dikelilingi anak-anak muda. Dua wakil direktur saya berumur 35 tahun. Saya sudah 58 tahun atau delapan tahun dari usia resmi pensiun di JP. Terimakasih setiap tahun --selama delapan tahun-- masih dipercaya. Sampai saya sendiri insaf, menyadari bahwa saya "too old to manage" JP Books. Saya feeling guilty kepada anak-anak muda yang luar biasa di belakang saya. Merekalah yang bekerja, merekalah yang mengelola, merekalah yang menunggui, lalu mengapa saya yang memimpinnya. Apa hebatnya. Alangkah tidak fairnya. Maka saya jawab WA Bos Wenny: "Sudah Bos. Saya juga sudah bicarakan dengan istri dan anak-anak." JP Koran, tempat saya memulai berkarier di JP, juga sudah ditangani "full" anak-anak muda. Jika saya menengok ke newsroom, hampir 90 persen sudah tidak saya kenal lagi. Benar-benar wajah baru, mulai pemimpin redaksinya, hingga reporternya, sudah empat atau lima generasi di bawah saya, sehingga tidak pernah ketemu. Tidak pernah mengedit tulisannya, tidak pernah menularkan pengalaman kita. Saya tidak tahu apakah "penularan" bukan "pengajaran" masih menjadi cara efektif mem-built in-kan "rukun iman keredaksian JP". Sebaiknya, saya ikuti nasihat Bos Dahlan Iskan yang sangat alergi menasihati anak muda. "Setiap zaman punya generasinya, setiap generasi punya zamannya. Jangan minta nasihat kepada saya. Sudah sangat tidak relevan," kata DI dalam zoom meeting dengan anak saya dan 9 timnya. Era milenial memang seharusnya ditangani para milenial. Generasi yang tingkat keponya (curiosity-nya) begitu tinggi. Bagi mereka, experience nomer satu. Punya rumah atau mobil bisa ditunda, yang penting experience. Ke Pulau Nami Korsel dulu, nonton lokasi drakor (drama korea) di Cuncheon. Maka, kita harus memahami jika ada anak muda yang dipanggil-panggil tidak nyahut karena lagi asyik nonton Crash Landing on You di HP-nya. The world benar-benar in his/her hands. Cara mereka menanggapi trend pun dengan gayanya. Ketika ramai demo pembunuhan George Floyd, HP mereka menghitam. Meniru gaya artis seantero jagad. Black Lives Matter. Kalau dulu, kita selalu mengirim wartawan untuk liputan penting seperti perang, Piala Dunia dan event2 penting, maka di era milenial ini, meliput Ultah BTS, pun mungkin tak kalah penting. Lalu, breakthrough atau terobosan. Keberanian The New York Times full page halaman depan memuat daftar orang mati karena Covid 19 sebagai protes terhadap Presiden Trump dalam menangani Covid 19, merupakan keberanian tersendiri. JP di HUT-nya ke 71, beranikah melakukan itu? Dulu, setiap kali kita bikin terobosan atau gerakan, kita memberanikan diri dengan jargon: "alah koran-korane dewe". Seenteng itu. Maka, jadilah liputan yang aneh dan berhalaman-halaman ketika meliput Kasus Pembunuhan Gang Dolly Keluarga Letkol Purwanto oleh Mucikari Sumiarsih dibantu keluarganya. Atau iklan berhalaman-halaman mengajak warga "Bersih-Bersih Kalimas". Kedua-duanya heboh. Tentu Youth Power JP Koran, punya kiatnya sendiri untuk tetap survive pada Ultahnya ke 71 sekarang ini. HBD JP, semoga kau masih sempat baca puisi Chairil Anwar: Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang... Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI}
Sumber: