FIB Untag Tawarkan Jalan Kreatif Hadapi Lingkungan New Normal

FIB Untag Tawarkan Jalan Kreatif Hadapi Lingkungan New Normal

Surabaya, memorandum.co.id - Kondisi dunia yang sedang disibukkan dengan persoalan covid-19 membuat semua orang kembali memikirkan bagaimana harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru (new normal). Perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan ini berdampak pada seluruh bidang kehidupan, misal ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan sastra. Sastra sebagai sebuah respons kreatif estetik selalu berkaitan erat dengan lingkungan. Untuk itu, Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menawarkan sebuah jalan kreatif yang dibeber lewat webinar bertajuk "Lingkungan, Prosa, dan Puisi", Selasa (30/6), kemarin. Ketua Progam Studi Sastra Inggris FIB Untag Surabaya, Mateus Rudi Supsiadji menyatakan, pelaksanaan webinar ini dimaksudkan untuk menawarkan gagasan dan jalan kreatif dalam menghadapi era new normal di tengah pandemi covid-19. "Persoalan lingkungan merupakan wacana yang tidak akan pernah selesai dibahas. Persoalan tentang eksplorasi lingkungan, perubahan kondisi lingkungan, serta perumusan kebijakan lingkungan menjadi pokok pembicaraan yang konsisten dibicarakan," ujarnya. Hadir sebagai narasumber adalah visiting scholar di Untag Surbaaya, Dr. John Charles Ryan; dosen UGM Jogjakarta sekaligus novelis, Ramayda Akmal; dan penyair F. Aziz Manna. Dalam webinar yang diikuti oleh 150-an peserta ini, F. Aziz Manna menjelaskan bahwa lingkungan, terutama dengan perubahannya, dalam sastra juga menjadi salah satu tema yang kerap digarap oleh penulis. Penyair pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa tersebut menekankan bahwa dalam menghadapi perubahan lingkungan diperlukan pengendapan agar terhindar dari karya sastra yang instan. Perubahan kondisi dunia karena covid-19 direspons oleh penulis untuk menghasilkan karya sastra, mulai dari penerbitan antologi, baik bersama maupun individu, sayembara, maupun diskusi. "Persoalan-persoalan sastra hanya menjadi semacam 'kenyinyiran' saja karena dipaksakan pada persoalan-persoalan yang sedang 'booming' (covid-19). Sastra membutuhkan pengendapan," seru Aziz Manna. Narasumber lain, Ramayda Akmal juga menyampaikan bahwa dalam kondisi sedih dan kesulitan saat ini justru menjadi sumber kreativitas. "Menulis adalah kerja soliter, artinya kondisi ini justru menjadi situasi yang tepat. Namun, tentu saja latihan itu penting," jelas kandidat doktor dari Hamburg University tersebut. Ramayda juga menjelaskan bahwa tema lingkungan dalam karya sastra merupakan tema yang telah lama muncul dalam karya sastra Indonesia. Dalam ranah kritik dan penelitian, lingkungan juga menjadi wacana yang tak ada habisnya untuk dieksploarasi, misalnya tentang pertentangan antara kebijakan negara dengan kebijakan masyarakat (indigenous local) dan hubungan antara rural dan urban yang selalu muncul secara konsisten di sastra Indonesia. "Karya sastra juga bisa tampil sebagai ramalan-ramalan tentang masa depan. Misalkan tentang wabah corona ini, Albert Camus pernah menciptakan karya sastra berjudul 'Sampar', yaitu wabah yang menyerang umat manusia," lanjut penulis novel Jatisaba itu. Senada dengan dua narasumber tersebut, John Charles Ryan menyampikan bahwa karya sastra seringkali merupakan refleksi penulis terhadap kondisi lingkungan yang dihadapinya. Salah satu contoh adalah kebakaran hutan di Australia, hilangnya fungsi lingkungan bagi hewan-hewan, menjadi inspirasi bagi penulis. “Memahami tradisi penggunaan tanaman atau tumbuh-tumbuhan dalam karya sastra memerlukan kajian teori yang luas, gaya yang bervariasi, dan latihan yang cukup sehingga menemukan kemungkinan penggunaan bahasa baru. Banyak puisi, khususnya sepuluh tahun terakhir, memandang tanaman secara lebih luas dari sekadar objek yang indah atau benda yang dieksploitasi,” terangnya.(ziz/gus)

Sumber: