Logika Marah
Saya tidak mau jadi pembicara di Zoom hari Minggu pagi kemarin. Di samping sudah terlalu sering, justru hari itu saya ingin ikut Zoom. Sebagai peserta. Apalagi, Sssttt...!... Pembicaranya cantik dengan 'lima i'. Acaranya: kesehatan jiwa dan raga. Penyelenggaranya: detik.com. Dengan sponsor 'Bakti BCA'. Pembicara 'lima i' itu: Dr Alberta Claudia. Pembicara satunya seorang psikolog yang cerdas: Tara de Thouars (Clinical Psychologist.). Masih ditambah demonstrasi olah jiwa-raga --oleh guru yoga Tio Rosaline. Dari BlesYoga. Pertanyaan peserta banyak yang menarik. Yang disampaikan lewat moderator yang saya lupa namanyi. Misalnya: apakah ketika kita olahraga tetap harus pakai masker. "Tidak perlu.... ," jawab Dr Claudia, "... kalau olahraganya di dalam rumah." "Kalau di luar rumah? Misalnya jogging atau bersepeda?“ "Tidak perlu....," katanya"... kalau tidak ada orang lain di sekitar Anda." Tapi kalau joggingnya rame-rame, meski berjarak, baiknya tetap pakai masker. Pertanyaan lain: "Olahraga itu kan perlu tarik nafas agak banyak. Bagaimana kalau kita punya sakit jantung atau pernafasan? Apakah boleh tidak pakai masker?“ Dr Claudia rupanya tidak hanya 'lima i' tapi juga tidak mudah terpancing. "Kalau Anda punya penyakit seperti itu baiknya jangan olahraga di luar," jawabnya. "Di rumah kan tetap bisa olahraga. Jangan diam di rumah lalu tidak mau olahraga," tambahnya. Lalu ada pertanyaan yang sangat menarik bagi saya: "bolehkah selama new normal olahraga renang?" "Kalau renang sih @$#@&#§§¿¢£§¢°°°," suara Claudia terganggu link yang kurang sempurna. Banyak lagi tip yang diberikan dr Claudia --setelah suaranya kembali memerdu. Yang juga menarik adalah paparan psikolog Tara. Tip darinyi juga sangat konkrit. Terutama bagi yang mudah terkena stres gegara wabah Covid-19. Penyebab stres itu: menangnya emosi atas logika. Emosi dan logika tidak bisa bersatu. Yang emosinya naik pasti logikanya turun. Maka muncullah rasa marah, sedih atau perasaan bersalah. Bagi yang stres baiknya menenangkan diri dulu. Untuk memikirkan yang mana penyebab stresnya. Syaratnya: harus tenang dulu. Cara menenangkan diri adalah: tarik nafas panjang. Empat detik. Beberapa kali. "Kami sudah tarik nafas panjang tetap saja tidak bisa tenang. Hal-hal negatif muncul kembali," tanya peserta lewat moderator. "Itu pertanda tarik nafasnya kurang benar. Tarif nafas yang benar adalah: semua konsentrasi ditujukan pada tarik nafas itu," ujar Tara. Sudah menjadi sifat manusia punya pikiran negatif. Penyebabnya adalah: semua manusia itu tidak ingin terkena masalah. Memang Tara tidak memberi jalan keluar bagaimana kalau marah, sedih, merasa bersalah menyatu ke dalam diri satu orang. Misalnya saya. Ups... Ternyata orang seperti saya tidak bisa stres. Terutama stres yang disebabkan oleh emosi marah. Simaklah fatwa Tara ini: kalau Anda lagi mau marah tumpahkanlah energi marah Anda ke olahraga, teriak-teriak atau untuk menulis. Saya sudah melakukan tiga-tiganya setiap hari. Pagi-pagi saya olahraga --sambil teriak-teriak. Sore hari menulis. Amitohu! Inti fatwa Tara adalah: di saat stres janganlah memikirkan tiga masa sekaligus --masa lalu, masa kini, dan masa depan. Fokuslah hanya memikirkan masa sekarang saja. "Lupakan dulu masa lalu. Masa depan pikirkan nanti," katanya. Tentu saya menunggu Zoom ini sampai acara demo yoga oleh Tio. Dia guru yoga sangat terkenal. Saya belum pernah melihatnya. Di masa covid ini Tio lebih terkenal lagi. Terutama sejak ia membuka kelas di Zoom. Tiap hari 500 orang rebutan 'seat' yang hanya untuk 12 orang. Tiap hari Tio membuka 'tender' untuk kelas keesokan harinya. Tendernya online. Bukan di WA tapi di Line. Dalam dua menit kuota 12 orang sudah penuh. Tio tidak memberi tahu tender itu diadakan jam berapa. Sepanjang pagi muridnya harus memelototi layar ponsel. Agar begitu tender dibuka bisa rebutan kuota. Tio tidak mau membuka kelas besar. Agar bisa mengawasi semua muridnya --lewat laptopnya. Belakangan dia buka kelas baru di jam yang berbeda. Tetap saja jadi rebutan. Padahal dia sudah membuka kelas instagram yang gratis. Tapi daya tarik Tio tidak hanya pada gerakannya. Melainkan juga caranya memperbaiki gerakan muridnya. "Saya tidak hanya mengajar Yoga. Saya juga mengajar kebaikan," ujarnya. Saya memang mewawancarainya seusai Zoom kemarin. Salah satu yang terus ditekankannya adalah: jangan ego. Kendalikan ego. Dia sendiri tidak mau bersikap rakus --tarif yang tinggi dan murid yang banyak. Melihat pembawaannya Tio ini seperti orang Bali. Lembut dan halus. Ternyata dia orang Batak. Guru yoga dan meditasinya yang orang Bali. "Jiwa saya memang lebih ke Bali. Tapi keras suara dan fighting spirit saya masih Batak asli haha...," ujarnya. Tio baru tertarik yoga di umur 34 tahun. Ada kejadian khusus yang membuatnya lari ke yoga. Yakni setelah bapaknya meninggal. "Jiwa saya agak guncang. Kerja saya semakin ambisius," ujarnya. Tio sangat 'anak bapak'. Ditinggal bapaknya itu Tio merasa berubah. Menjadi self center, narcicist dan berujung pada depresi. "Saya merasa tidak bahagia dengan kehidupan yang saya jalani. Padahal banyak hal berhasil saya capai," katanya. Waktu itu Tio menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar. "Karir, pujian dan popularitas ternyata tidak membuat saya damai," katanya. Saat depresi itu dia memutuskan berhenti berkarir. Dia melanglang negara. Dia keliling Asia --seorang diri. Selama 3 bulan. "Di Kamboja saya melihat tempat yoga sederhana sekali. Tapi energi yang muncul dari tempat itu penuh ketenangan," katanya. Di Kamboja itulah dia mulai tertarik yoga. Dia mulai belajar bahwa bahagia itu berbeda dengan rasa gembira. Tio tidak hanya mengajar yoga. Juga meditasi. Guru meditasinya itulah yang dari Bali. Orangnya tinggi. Tio mengabadikannya di profil picture ponselnya. Sosok itu pula yang jadi gurunya Anjasmara dan Ade Rai. Di Bali Usada Health Meditation itulah Tio mengubah jiwanya. "Beliaulah yang mengajarkan saya bahwa yoga bukan sekedar pose tapi belajar menikmati tubuh dan mencintai tubuh apa adanya," katanya. "I am truly blessed to have them as my role model Pak," tambahnya. Dengan adanya Zoom, Tio bisa mengajar sejak jam 06.30 pagi sampai 19.30 malam. Untuk enam kelas bergantian. Termasuk kelas privat. Apakah setelah Covid-19 akan menutup kelas Zoom? "Zoom akan terus ada pak. Ini permintaan mereka. Termasuk orang Indonesia yang di luar negeri," katanya. Waktu Covid-19 mulai masuk Indonesia Tio menutup studio yoganya --BlesYoga di Jakarta. Tio lantas mengajar lewat Instagram. Gratis. Beberapa hari kemudian mulailah datang permintaan kelas Zoom itu. Dengan Zoom ini guru-guru yoga terbaik bisa diikuti dari pojok mana pun. Ini sekaligus tantangan bagi guru yoga di daerah. Jangan sampai semua murid yoga lari hanya ke sejumlah guru yoga terkemuka saja. Covid-19 juga membawa persaingan mutu sampai nun jauh ke yoga.(Dahlan Iskan)
Sumber: