Jejak KKN Kolaboratif 92 Mengabdi untuk Desa Tukum
Momen perpisahan KKN Kolaboratif 92 di Desa Tukum, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang--
LUMAJANG, MEMORANDUM.CO.ID - Tiga puluh lima hari lalu, sekelompok mahasiswa dengan seragam almamaternya datang ke Desa Tukum, Kecamatan Tekung, Kabupaten LUMAJANG. Mereka memperkenalkan diri sebagai bagian dari KKN Kolaboratif 92, sebuah program yang bukan hanya sekadar tugas akademik, melainkan juga pengabdian sosial.
Koordinator Desa KKN Kolaboratif 92, Farras Avrilla Daffa Wahyudi, masih mengingat jelas bagaimana ia dan rekan-rekannya pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. “Kami sempat merasa asing, tapi sambutan masyarakat membuat kami cepat merasa diterima,” ujarnya.
BACA JUGA:KKN Kolaboratif Desa Cinta, Mahasiswa Perangi Kemiskinan Ekstrem di Jember

Mini Kidi--
Mereka juga mendampingi pemerintah desa dalam berbagai program. Salah satunya, penyusunan Peta Desa Tukum yang kelak menjadi dokumen vital untuk perencanaan pembangunan dan tata ruang wilayah. Dari tangan-tangan muda inilah lahir kontribusi nyata yang akan dikenang.
Sekretaris KKN Kolaboratif 92, Dewi Setya Rini, menuturkan bahwa perjalanan ini bukan sekadar pengabdian, melainkan juga pengalaman emosional. “Kami belajar arti keluarga yang sesungguhnya di sini. Tawa, lelah, hingga cerita sehari-hari bersama warga menjadi bagian hidup yang sulit dilupakan,” katanya lirih.
Masyarakat Tukum pun merasakan kehadiran mahasiswa ini bukan sekadar tamu, melainkan sahabat. Warga dengan senang hati membuka pintu rumah, berbagi cerita, hingga menyajikan hidangan sederhana yang menyatukan hati di meja makan.
BACA JUGA:Komitmen Kades Santo, Musdus Merumuskan Pembangunan Desa Tukum ke Depan
Suasana kebersamaan ini menciptakan ikatan emosional yang kuat. Anak-anak desa menanti kehadiran para mahasiswa setiap sore, sementara para orang tua merasa memiliki anak tambahan yang membantu dengan tenaga dan ide segar.
Dalam perjalanannya, tentu tak hanya tawa yang hadir. Ada lelah, ada tantangan, ada juga perbedaan cara pandang. Namun justru itulah yang mengajarkan arti pengabdian. Bahwa hidup berdampingan membutuhkan kesabaran, pengertian, dan keikhlasan.
Ketika masa pengabdian berakhir, perpisahan menjadi momen paling berat. Dalam setiap senyum pamit, ada doa yang terpanjat. Dalam setiap pelukan, tersimpan rindu yang sudah terasa sejak sebelum kaki melangkah meninggalkan desa.
BACA JUGA:Minimalisir Penyebaran Covid-19, TNI dan Aparatur Desa Tukum Semprotkan Disinfektan
“Terima kasih Desa Tukum atas penerimaan, kebersamaan, dan cinta yang kalian berikan. Kami datang sebagai orang asing, dan kini pulang sebagai keluarga,” ujar Farras, penuh haru.
Dewi pun menambahkan bahwa setiap jejak kecil yang mereka tinggalkan semoga bisa menjadi manfaat. “Kami berharap, bukan hanya program yang dikenang, tetapi juga kebersamaan yang sudah kita rajut bersama,” ucapnya.
Sumber:



