KPAI Kawal Sidang Dugaan Cabul Pendeta

KPAI Kawal Sidang Dugaan Cabul Pendeta

Surabaya, memorandum.co.id – Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan pendeta kepada jemaatnya yang saat ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mendapat perhatian serius Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Seperti pada Rabu (27/5/2020), Ketua KPAI Arist Merdeka Sirait langsung datang ke PN Surabaya untuk mengawal persidangan yang hari ini dengan agenda tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) atas eksepsi pengacara terdakwa Hanny Layantara. "Kami memberikan pesan kepada jaksa tentu sebagai perwakilan pengacara negara yang membela korban. Maka ada dua undang-undang yang harus dipakai, dikenakan pasal berlapis. Yang pertama undang-undang perlindungan anak dengan ancaman hukumannya minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun," ujar Arist Merdeka Sirait kepada wartawan. Lanjutnya, di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun. Bahkan, bisa ditambahkan seumur hidup. Selain itu, bisa ditambahkan dengan kebiri berupa suntikan kimia dan pemasangan chip untuk memonitor keberadaan pelaku kejahatan seksual pada anak. "Terdakwa ini diduga melakukan perbuatannya secara berulang-ulang dan sesuai undang-undangnya dapat dijatuhi pidana tambahan berupa kebiri kimia melalui suntikan dan pemasangan chip,"sambungnya. Tambah Arist Merdeka Sirait, sejak awal dilaporkan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polda Jatim dan memastikan bahwa ini menjadikan peristiwa hukum yang patut untuk diperiksa. “Tentu dilakukan dengan baik dan apresiasi dengan Polda Jatim,” pungkas Arist Merdeka Sirait. Sementara itu, Jeffry Simatupang, salah satu tim penasihat hukum terdakwa tidak sependapat dengan pernyataan Arist Merdeka Sirait. Ia menyebut, kliennya tidak dapat diadili karena kasus sudah kedaluwarsa lantaran baru dilaporkan 14 tahun setelah kejadian. “Dalam pasal 82 tidak ada hukuman seumur hidup, adanya hukuman maksimal 15 tahun penjara. Jadi bagi kami, klien kami tidak akan dihukum seumur hidup atau kebiri. Bagi kami jelas bahwa perkara itu sudah kedaluwarsa, kenapa karena terjadinya sudah 12 tahun yang lalu. Seharusnya hak menuntut dari jaksa sudah gugur, makanya kami melakukan eksepsi terhadap dakwaan tersebut,” tegas Jeffry ditemui di PN Surabaya. Lanjutnya, bahwa dalam undang-undang mengatakan bahwa perkara yang ancamannya maksimal15 tahun penjara masa kedaluwarsanya adalah 12 tahun setelah dilakukan tindak pidana. “Kalau kita menghitung waktu, 2006 terakhir dilakukan itu sudah 14 tahun yang lalu. Kalau 14 tahun yang lalu, seharusnya perkara ini sudah gugur,” ujarnya. Dalam kasus ini, Jeffry meminta agar pihak yang berperkara maupun yang tidak berperkara untuk menghormati proses peradilan yang sedang berjalan. "Kita hormati proses hukum, jangan beropini, kita tunggu prosesnya, kita menghormati lembaga peradilan. Kami percaya lembaga peradilan profesional dalam menyikapi dengan kasus ini dan akan memutus dengan seadil-adilnya,"pungkas Jeffry. Diketahui, kasus ini mencuat setelah korban (IW) melalui juru bicara keluarga melaporkan ke SPKT Polda Jatim dengan nomor LPB/ 155/ II/ 2020/ UM/ SPKT, pada Rabu (20/2). Berdasarkan keterangan, korban mengaku telah dicabuli selama 17 tahun, terhitung sejak usianya 9 tahun hingga saat ini 26 tahun. Namun, dari hasil pengembangan terakhir pencabulan terjadi dalam rentang waktu 6 tahun, ketika usia korban masih 12 tahun hingga 18 tahun. (fer/gus)

Sumber: