Jerit Buruh, Tangis Majikan

Jerit Buruh, Tangis Majikan

May Day… May Day… suara nyaring itu muncul lagi, Jumat (1 Mei). May Day itu harinya buruh. Buruh di seantero bumi ini, termasuk Indonesia. Tegasnya, 1 Mei selalu diperingati sebagai Hari Buruh. Biasaya, di negara ini diperingati dengan banyaknya buruh yang turun ke jalan alias demo. Mereka berbondong-bondong menyampaikan kritikan dan tuntutan. Mulai dari buruh kelas bawah sampai kelas atas. Pokoknya, siapa pun buruh, pasti memperingatinya dengan cara menuntut A, menuntut B, atau apa saja sesuai kebutuhan dan kepentingan kaum buruh. Mereka sadar, hanya dengan cara itu (demo), pressure terhadap kaum majikan bisa berhasil. Minimal menggelegar di seantero jika kepentingan buruh sangatlah layak diiyakan. Sebaliknya, May Day menjadi awal “petaka” bagi para bos/majikan. Sebab, mereka jadi lebih berpikir keras meningkatkan kinerja agar mendapatkan keuntungan lebih besar pada tahun penjualan berjalan. Minimal, May Day dipakai sebagai patokan kaum majikan sebagai babak baru pada setiap tahunnya untuk menerapkan strategi perusahaan agar capaian target lebih tinggi bisa diraup. Dan biasanya (walau tak banyak), setelah drama-drama demo turun jalan itu usai, ada perubahan sedikit dalam kehidupan kaum buruh. Paling tidak, ada kenaikan upah yang diterima setelah muncul kompromi kaum majikan dan pemerintah. Tapi, itu gambaran tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Tidak untuk tahun ini. Tahun ini jeritan para majikan tak kalah nyaring daripada lengkingan suara kaum buruh. Lengking jerit kaum majikan lebih terdengar sebagai tangisan miris karena mereka lebih terdampak akibat “teror” virus corona yang kini menyerang bumi tercinta ini. Kaum majikan lebih merasakan betapa beratnya menanggung akibat kemerosotan penghasilan dari unit usaha yang dibangun. Sebagai pemodal, pasti itu jadi pukulan telak, dan apabila tidak siap pasti akan tersungkur knock out . Apalagi “serangan” virus hingga kini belum diketahui sampai kapan akan berakhir. Tak hanya itu, majikan pasti masih dituntut harus bertanggung jawab terhadap kehidupan buruhnya agar tetap survive di tengah kondisi prihatin akibat wabah. Nah, May Day tahun ini jadi catatan sejarah yang beda bagi kaum buruh maupun kaum majikan. Catatan sebagai May Day tahun pilu. May Day tahun tangisan, dan May Day tahun keterpurukan bersama. Apalagi, May Day tahun ini berada di tengah “pelukan” bulan puasa Ramadan, yang di ujung bulan disambung momentum Lebaran, hari saat masyarakat (muslim) bersuka cita meraih kemenangan. Haruskah kita menjerit dan menangis bersama?

Sumber: