Putusan MK Ambivalen? Respon Atas Tidak Dapat Diterimanya Gugatan Cagub Risma dan Cawagub Gus Hans

Abdul Aziz--
Oleh: Abdul Aziz
Advokat, Legal Consultant, Founder dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
Pasca dua kali sidang pendahuluan dengan hakim panel Saldi Isra, Arsul Sani dan Ridwan Mansyur dan rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), Nomor 265/PHPU/GUB-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim Ibu Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) tidak dapat diterima, sebagaimana sidang pengucapan putusan sela (Dismissal) yang dibacakan oleh hakim konstitusi pada Selasa (4/2) malam di gedung MK.
Perlu masyarakat ketahui bahwa, gugatan Ibu Risma dan Gus Hans bukan ditolak, seperti tertulis dalam pemberitaan-pemberitaan. Melainkan, gugatan tidak dapat diterima, yang bermakna gugatan mengandung unsur cacat formil. Belum masuk pada sidang pokok perkara yang menghadirkan saksi dan ahli serta pemeriksaan alat bukti. Putusan yang demikian, berbeda sama sekali dengan gugatan ditolak. Dimana, penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya. Artinya, gugatan sudah masuk pada sidang pokok perkara. Hakim telah mendengarkan keterangan para saksi dan ahli, juga memeriksa alat bukti.
BACA JUGA:KPU Jawa Timur Gelar Rapat Pleno Penetapan Paslon Gubernur-Wakil Gubernur Terpilih
Terhadap putusan MK yang memutus gugatan tidak dapat diterima, sikap Ibu Risma dan Gus Hans jelas. Walaupun mendalilkan bahwa penyelenggaraan Pilgub Jatim patut diduga tidak jujur dan tidak adil yang bermuara pada dugaan kecurangan yang serius, yakni terstruktur, sistematis dan masif (TSM) serta menyiapkan para saksi dan ahli berikut delapan puluh ribu bukti yang telah disahkan oleh hakim panel, Ibu Risma dan Gus Hans menghormati putusan MK walaupun terdapat keprihatinan mendalam. Keduanya, juga tegas mengatakan bahwa ia tidak ambisius!
Termasuk, tidak akan melakukan segala upaya untuk sebuah jabatan, seperti menggugat ke Mahkamah Agung (MA), sebagaimana dilakukan Khofifah saat tidak terima pada putusan MK, kalah kedua kalinya pada Pilgub Jatim tahun 2013. Selanjutnya, Ibu Risma dan Gus Hans mengembalikan sepenuhnya pada masyarakat Jawa Timur dalam melihat dan menilai proses penyelenggaraan Pilgub Jatim yang meninggalkan catatan-catatan anomali yang mengiringi perjalanan Pilkada tahun 2024.
Gus Hans juga berharap, kepemimpinan Khofifah dan Emil menjadi garda terdepan dalam ikhtiar pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jawa Timur. Khususnya, berkomitmen untuk membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus korupsi dana hibah yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun 2019 hingga 2022, yang hingga kini belum tuntas dan menjadi perhatian publik.
Sedangkan bagi tim kuasa hukum, putusan MK yang tidak melanjutkan perkara Ibu Risma dan Gus Hans ke sidang pokok perkara, sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Patut diduga, putusan yang diambil mengandung unsur ambivalensi. Sebuah pertentangan antara fakta yang ter-kulik di sidang panel dengan realitas putusan. Mengingat, fakta-fakta yang tersaji dalam sidang pendahuluan, menunjukkan adanya perhatian yang serius, untuk tidak mengatakan KPU Jatim selaku termohon "dikuliti" oleh hakim panel yang dipimpin Saldi Isra.
Sebagai kuasa hukum Ibu Risma dan Gus Hans yang hadir langsung dalam sidang pendahuluan kedua, penulis mencatat setidaknya ada enam sikap hakim yang betul-betul mengejar, mengulik, dan bahkan memarahi KPU Jatim yang selanjutnya menjadi fakta persidangan pendahuluan yang digawangi hakim panel. Keenam fakta berikut ini, tentu telah disaksikan oleh umum melalui kanal YouTube MK. Artinya, masyarakat luas tahu betul tentang fakta-fakta tak terbantahkan berikut ini.
Pertama, saat KPU Jatim, pihak terkait (Khofifah-Emil), dan Bawaslu Jatim membacakan eksepsi (jawaban) yang menyebutkan bahwa MK tidak berwenang mengadili perkara 265 yang dimohonkan Ibu Risma dan Gus Hans karena ambang batas suara yang tidak terpenuhi, seketika hakim Saldi menyela. Bahwa, jika membaca putusan-putusan MK terdahulu, jelas MK berwenang mengadili walaupun tidak terpenuhi syarat formal ambang batas suara seperti dimaksud Pasal 158 Undang-Undang Pilkada, No. 10 Tahun 2016. Baik KPU, Bawaslu maupun pihak terkait (Khofifah-Emil), terdiam.
Artinya, MK hendak menegaskan kepada para pihak, bahwa MK itu bukan Mahkamah Kalkulasi. Tetapi Mahkamah Konstitusi, yang dalam mengadili perkara PHPU tidak semata bicara angka. Lebih dari itu, MK turut memastikan, apakah seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada digelar secara jujur dan adil. Pada akhirnya, MK menghadirkan keadilan yang bersifat substantif.
Sumber: