Minta Cerai, Semua Anak Mendukung Dilakukan Secepatnya
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Keesokan harinya Toni ditelepon Johan, sulungnya yang tinggal di Jogjakarta. Dia mengabarkan bahwa ibunya tengah malam mengetuk pintu dan menangis. Matanya sembab. Katanya menangis sepanjang jalan karena dijahati ayah Johan. Mendengar itu, Toni hanya tersenyum. Ia mengingatkan Johan agar tidak menelan mentah-mentah perkataan ibunya. Sebab, ada masalah di balik peristiwa tersebut yang tidak etis dilakukan ibunya. Johan mahfum karena sudah mengerti betul karakter ibunya. Karena itu, setiap diajak ibunya membicarakan perilaku ayahnya, Johan selalu menghindar. Di tidak ingin terjebak dalam lingkaran ghibah, apalagi terhadap keluarga sendiri. Lagi pula, Johan paham betul siapa ibunya. Maya pasti merasa tidak nyaman karena kekuasaannya di rumah direnggut mertua. Dengan kehadiran Yangti, itu artinya sang ibu tidak bisa semena-mena lagi menyuruh ayahnya melakukan ini, melakukan itu; melarang ini, melarang itu. Kini prahara yang dibawa Maya berpindah tempat. Dia memainkan kekuasaan di rumah Johan. Penderitaan itu menimpa istri Johan dan anak-anaknya. Istri Johan tidak lagi bebas memilih menu masakan. Tidak lagi bebas mengatur jam belajar anak-anak. Semua harus disesuaikan selera Maya. Jam belajar anak-anak, misalnya, dianggap mengganggu Maya menikmati sinetron. Akibatnya, jam belajar mereka harus dimajukan sebelum Magrib. Padahal, jam segitu anak-anak baru pulang dari les. Anak-anak juga merasa hak bermainnya dirampas. Mereka yang biasa melepas lelah setelah mandi sore dengan bermain game online, sekarang harus memanfaatkan jam tersebut untuk belajar. Mereka tidak bisa menggesernya setelah Magrib karena ruang keluarga, satu-satunya tempat untuk bersantai, dikuasai nenek mereka yang menyetel volume TV keras-keras. Di situlah mereka biasa main game atau sekadar nonton TV. “Istri dan anak-anak mulai protes atas kehadiran Ibu, Pak,” lapor Johan suatu saat kepada ayahnya. “Sabar dulu,” pinta Toni. “Tapi kasihan anak-anak. Jadwal kegiatan mereka kacau.” Terpaksa Toni menelepon istrinya, menyuruhnya pulang. Dengan berbagai alasan. Namun, Maya bersikukuh tak mau pulang senyampang Toni belum menitipkan ibunya ke panti jompo atau memulangkannya ke desa. “Kalau tidak, lebih baik aku minta cerai. Biar kita bebas. Hidup sendiri-sendiri. Kamu dengan ibumu dan aku bebas ke mana pun aku mau,” ancam Maya. Toni sempat terkejut atas ucapan Maya tadi. Sebegitu bencikah Maya kepada ibu mertua? Benar-benarkah ucapan tersebut? Atau jangan-jangan itu hanya gertak sambal. Sebab, mau ke mana perempuan itu bila benar-benar diceraikan Toni? Lelaki paruh baya yang tak habis pikir atas ucapan Maya mencoba meminta pendapat anak-anaknya. Yang mengejutkan, mereka seperti sepakat menyarankan ayahnya agar menceraikan ibunya. “Agar Ibu menyadari kesalahan-kesalahannya selama ini. Agar Ibu tidak selalu memaksakan kehendak,” kata Johan. “Secepatnya saja Ayah melakukannya,” imbuh Johan. (bersambung)
Sumber: