Kajati Jatim Ajak Masyarakat Lebih Memahami Restorative Justice
Kajati Jatim saat menjadi nara sumber dalam acara talk show dengan tema Restorative Justice oleh Kejaksaan--Tangkapan layar youtube Suara Muslim TV
SURABAYA, MEMORANDUM – Dalam upaya memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) kepada masyarakat, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kajati Jatim) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL menjadi nara sumber dalam acara talk show di salah satu radio di Surabaya, Kamis 29 Agustus 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Mia Amiati memaparkan secara detail mengenai konsep Restorative Justice yang diterapkan oleh Kejaksaan. Selama ini masih ada anggapan bahwa hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah tumpul ke atas. Kenapa demikian? Karena banyak peristiwa (hukum) yang masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Diantaranya kasus nenek Minah yang divonis penjara 1 bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao, kemudian kakek Sabirin divonis 2 bulan 4 hari hanya karena mencuri getah karet senilai Rp 17.000.
BACA JUGA:10 Perkara Oharda dan 1 Perkara Narkotika Dihentikan Penuntutannya Berdasarkan Keadilan Restoratif
BACA JUGA:Ini Daftar Lengkap Rotasi Jabatan di Kejati Jatim, dari Wakajati hingga Kajari
Selanjutnya ada nenek Saulina yang divonis 1 bulan 14 hari karena menebang pohon durian milik kerabatnya dan ada lagi seorang nenek yang divonis 4 bulan 10 hari karena mencuri satu buah piring dan bumbu dapur milik majikannnya.
"Ini apa yang salah, apakah memang penegakan hukum tersebut membuahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam undang-undang atau setelah kita lihat penegakan hukum di Indonesia seharusnya ada azas kemanfaatan, azas memberikan rasa aman dan rasa adil yang menyelesaiakan masalah bagi masyarakat pencari keadilan," ujar Kajati Jatim.
"Dari itu kemudian pimpinan kami di Kejaksaan, menggerakan agar mencoba penegakan hukum tidak semata mata kaku terhadap suatu peraturan, bagaimana kita menerapkan aturan hukum secara humanis, ini kuncinya penegakan hukum secara humanis," imbuh Kajati perempuan pertama di Jatim ini.
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir memberikan humanisme dalam penegakan hukum dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Melalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.
"Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa," ujar Kajati Jatim.
Untuk itu, permohonan pengajuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara;
- Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan tersangka dan hak korban terlah dipulihkan Kembali serta masyarakat merespons positif.
Untuk perkara penyalahgunaan narkotika, penghentian penuntutan harus mempertimbangkan bahwa :
- Tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk dirinya sendiri (end-user);
- Tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar dan kurir terkait jaringan gelap narkotika;
- Tersangka bukan merupakan residivis kasus narkotika;
- Tersangka tidak pernah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO);
- Sudah ada Surat Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu BNNK setempat dan tim dokter yang menyatakan dan kesimpulan terhadap tersangka layak untuk direhabilitasi;
Hadir juga dalam acara tersebut Direktur Sekolah Pascasarjana Unair Surabaya Prof. Badri Munir Sukoco, SE. MBA. PhD.
"Restorative Justice itu merupakan bagian dari interpersonal trust yang difasilitasi oleh institutional trust," ujar Badri Munir.
Menurut penelitian, Gross Domestic Product (GDP) / Produk Domestik Bruto (PDB) akan naik hingga hingga 2,3% (setara dengan +Rp. 374 triliun) apabila 50% penduduk Indonesia saling mempercayai satu sama lain (interpersonal trust) dan mempercayai pemerintahannya (institutional trust).
Sumber: