Dilema Rokok Eceran, Antara Kebijakan Pemerintah dan Kebutuhan Masyarakat
Larangan penjualan rokok secara eceran yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat. --Freepik
MEMORANDUM - Larangan penjualan rokok secara eceran yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Kebijakan ini, yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok dan melindungi kesehatan masyarakat, ternyata memicu pro dan kontra yang cukup sengit.
Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.
Meskipun prevalensi merokok di Indonesia mengalami penurunan dari 1,8% menjadi 1,6%.
BACA JUGA:Tembakau Tidak Hanya untuk Rokok, Ini 5 Kegunaan Lainnya
BACA JUGA:Tambaku Kafe dan Resto, Surga Bagi Pecinta Tembakau di Surabaya
Bahkan, secara sosial ekonomi angka yang digunakan untuk belanja rumah tangga rokok lebih tinggi daripada angka yang digunakan untuk belanja makanan bergizi. Data GATS 2021 mencatat jumlah bulanan rata-rata untuk rokok adalah Rp. 382.091,72.
Bagaimana dengan Surabaya?
Sebagai kota besar dengan beragam lapisan masyarakat, Surabaya menjadi salah satu wilayah yang merasakan dampak langsung dari kebijakan ini.
"Kalau saya pribadi ya mas ya aslinya tidak setuju karena membebani rakyat yang ekonominya menengah kebawah dan juga tidak mampu beli rokok secara sebungkus," ujar Cak Di, pemilik toko kelontong di Kawasan Nginden Semolo Surabaya.
Konsumen Cak Di juga sangat sering sekali membeli rokok secara eceran di tokonya, mulai dari kalangan mahasiswa sampai warga-warga sekitar yang kurang mampu dalam segi ekonominya.
"Jadi saya sangat tidak setuju ada larangan dari pemerintah tidak boleh menjual rokok secara eceran, saya sebagai penjual juga keberatan," ujar Cak Di dengan dialek Surabaya yang khas.
Senada dengan Cak Di, Achmad Triatmojo, seorang mahasiswa yang juga bekerja, mengaku kesulitan dengan larangan ini.
"Saya seringkali membeli rokok eceran di warung-warung sekitar karena lebih praktis dan sesuai dengan budget saya," ungkapnya.
Argumen Cak Di dan Achmad Triatmojo setidaknya menjadi potret bahwa bagi sebagian orang, membeli rokok secara eceran sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah.
BACA JUGA:5 Daerah Penghasil Tembakau Terbesar di Indonesia, Jawa Timur Nomor 1
Selain itu, para pelaku usaha kecil, seperti pemilik toko kelontong, merasa terbebani dengan larangan ini.
Penjualan rokok eceran merupakan salah satu sumber pendapatan mereka dan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, membeli rokok dalam jumlah banyak terasa berat karena keterbatasan finansial
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi dilema ini? Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan.
Perlu adanya kajian yang lebih mendalam untuk mencari solusi yang win-win solution.
Mungkin perlu ada alternatif kebijakan yang lebih fleksibel, misalnya dengan membatasi jenis rokok yang dijual secara eceran atau memberikan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat tentang bahaya merokok.(mg21)
Sumber: