I Love the Way You Lie: Analisis Hukum di Balik Kebohongan dan Manipulasi dalam Toxic Relationship
Founder dan CEO top Legal Anis Tiana Pottag, S.H., M.H., M.Kn., M.M. --
Penipuan adalah salah satu tindak pidana yang diatur dalam KUHP Indonesia. Menurut Pasal 378 KUHP, penipuan terjadi ketika seseorang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat atau kebohongan untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, yang menyebabkan orang tersebut mengalami kerugian.
Pasal 378 KUHP berbunyi: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, baik dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dalam konteks toxic relationship, kebohongan yang dilakukan oleh salah satu pihak untuk memanipulasi atau mengeksploitasi pasangan mereka bisa dianggap sebagai penipuan jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian yang nyata. Misalnya, jika seorang pasangan memanipulasi yang lain untuk memberikan uang atau harta benda dengan janji atau kebohongan yang disengaja, tindakan ini bisa dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 378 KUHP.
2. Pengaruh Manipulasi Emosional dan NPD dalam Hukum
Manipulasi emosional, terutama yang dilakukan oleh seseorang dengan NPD, bisa menimbulkan kerugian yang signifikan bagi korban. Meskipun KUHP tidak secara eksplisit mengatur tentang manipulasi emosional, jika tindakan manipulasi tersebut melibatkan kebohongan atau penipuan yang mengakibatkan kerugian bagi korban, maka tindakan tersebut bisa dikenakan Pasal 378 KUHP.
Dalam toxic relationship, manipulasi ini sering kali menjadi elemen kunci yang memperburuk situasi, dengan pelaku terus-menerus merendahkan korban dan membuat mereka merasa tidak berharga. Jika manipulasi ini menyebabkan korban mengalami kerugian finansial atau kerugian lain yang dapat diukur, korban dapat mengambil langkah hukum untuk menuntut pelaku.
3. Gugatan Perdata untuk Ganti Rugi dalam Toxic Relationship
Selain implikasi pidana, kebohongan dan manipulasi dalam hubungan yang toksik juga bisa menjadi dasar untuk gugatan perdata. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain mewajibkan pelaku untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dalam konteks ini, jika seseorang merasa bahwa mereka telah dirugikan oleh kebohongan atau manipulasi pasangan mereka dalam hubungan yang toksik, mereka dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami. Kerugian ini bisa berupa kerugian materiil, seperti uang yang diberikan atau harta yang dipindahkan, maupun kerugian immateriil, seperti penderitaan emosional yang dialami.
4. Unsur-unsur Gugatan Perdata dan Pembuktian dalam Toxic Relationship
Untuk memenangkan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, korban harus membuktikan beberapa unsur utama:
• Perbuatan melawan hukum: Tindakan pelaku harus melanggar hukum, misalnya melalui penipuan atau manipulasi yang melibatkan kebohongan.
• Adanya kerugian: Korban harus menunjukkan bahwa mereka mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindakan pelaku. Kerugian ini bisa berupa kehilangan finansial, penderitaan emosional, atau kerusakan reputasi.
• Kausalitas: Harus ada hubungan kausal antara tindakan pelaku dan kerugian yang dialami oleh korban. Artinya, korban harus membuktikan bahwa kerugian tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya tindakan melawan hukum dari pelaku.
Sumber: