Memenuhi Permintaan Jemaah, Dijah pun Turun Bertausiyah
Yuli Setyo Budi, Surabaya Memorandum menerima telepon dari pembaca bernada protes: kenapa sejuta kisah rumah tangga bertajuk Perjalanan Santriwati Menemukan Tambatan Hati di Pesantren berakhir menggantung? Pertanyaan dia: apakah Dijah akhirnya menikah vs Azam? Tragedi pengantin putri keguguran di pelaminan dirasakan keluarga Azam sebagai peristiwa yang mencoreng muka. Amat memalukan! Orang tua Azam menilai ayah dan ibu pengantin putri gagal mendidik anaknya. Seperti dugaan Bu Nyai, peristiwa ini tak berhenti sampai di sini. Keluarga Azam merasa ditipu keluarga pengantin putri, yang dianggap sengaja menyembunyikan aib yang sangat memalukan. Tidak menunggu lama, keesokan harinya Azam langsung mengajukan perceraian. Baru kali ini ayah Azam minta maaf kepada anak yang dianggap pembangkang ini. Tapi, tak semudah itu Azam memaafkan ayahnya. Dia memberikan syarat untuk itu. Ringan saja: Azam minta ayah merestuinya menikah vs Dijah. Tapi, ternyata tak semudah itu pula ayahnya memberikan restu. Pengusaha sukses tersebut malah menyodorkan calon lain, anak sahabatnya yang sedang berkuliah di Belanda. “Aku tidak mau, Yah. Lebih baik aku menduda selamanya atau menikah dengan Dijah. Tapi dengan cacatan: selamanya aku tidak akan memaafkan Ayah, yang telah salah mengawinkanku dengan dia (menyebutkan nama mantan istrinya, red),” kata Azam seperti ditirukan Dijah, “Aku tidak ingin terjadi kesalahan serupa.” Ayah Azam tertegun. Dia merasa tersudut karena sang istri mendukung anaknya. “Ibu (mertua, red) mendukung keinginan Kak Azam. Jauh sebelum ini beliau memang mendukung kami,” kata Dijah. Akhirnya ayah Azam mengalah. Lamaran pun digelar. Bukan Dijah yang melamar Azam seperti tradisi waktu itu, tapi keluarga Azam yang meminang Dijah di Paciran, Lamongan. “Resepsi kami gelar secara sederhana,” aku Dijah sambil tersenyum. Waktu itu Azam sudah menyelesaikan kuliahnya di Mesir, sedangkan Dijah baru mulai duduk di semester awal. Mereka tidak sempat terpisah jauh karena Azam dipercaya menjadi dosen di universitas ternama tersebut. Baru setelah Dijah lulus kuliah, mereka kembali ke Indonesia. Azam menjadi pemangku pondok pesantren dan menekuni dunia dakwah, sedangkan Dijah menjadi Bu Nyainya mendampingi Azam. Dijah mengembangkan bisnis waralaba syariah dan mengajarkan kepada santri teknik berkebun memanfaatkan halaman rumah yang sempit. Halaman tanpa tanah. Dalam perjalanan waktu yang singkat, mereka diaruniai banyak anak dan Dijah terpaksa mengikuti jejak Azam menjadi ustazah. Hal ini dilakukan semata untuk memenuhi permintaan jemaah. Mereka bahkan sering tampil bersama dalam satu kesempatan. “Makanya, sebagai seorang muslim dan muslimah kita tidak boleh mudah berputus asa. Seberapa kecil peluang di depan kita, tidak ada yang mustahil bagi kita. Ada senjata kita yang tidak dimiliki kelompok lain, yaitu doa.” (habis beneran)
Sumber: