Benteng Van Den Bosch Ngawi, Bukti Sejarah Kuno Nan Megah Tempat Bertemunya Dua Sungai
Kemegahan Benteng Van Den Bosch di Ngawi yang kini menjadi destinasi wisata sejarah dan edukasi.--
MEMORANDUM.CO.ID – Benteng Van Den Bosch, yang lebih dikenal sebagai Benteng Pendem, dibangun pada masa pemerintahan Belanda sekitar tahun 1839 hingga 1845 di Ngawi, Jawa Timur, kini menjadi salah satu peninggalan bersejarah yang dikunjungi masyarakat untuk edukasi sejarah dan berswafoto.
Benteng ini dibangun saat pemerintahan dipimpin oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.
Benteng ini disebut "Benteng Pendem" karena posisinya yang lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya.
BACA JUGA:Epik! 5 Candi Di Mojokerto Ini Tak Hanya Menjadi Tempat Wisata Sejarah
Terhitung usia benteng ini kurang lebih sekitar 179 tahun.
Bangunan ini telah melewati masa renovasi oleh PUPR pada 10 Desember 2020.
Renovasi tersebut bertujuan mengembalikan konstruksi bangunan aslinya yang minim perubahan.
Saat memasuki kawasan benteng, suasana tempo dulu seketika terasa dari bangunan tua yang kokoh.
Dinding bata merah yang mulai rapuh seolah ingin bercerita tentang fungsi benteng ini.
Benteng ini menjadi pertahanan Belanda yang cukup strategis karena letaknya di pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun.
Benteng Van Den Bosch terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam.
Bagian tengah dan dalam bangunan memiliki hamparan rumput yang hijau dan luas.
Suasana sekitar benteng terasa asri dengan pepohonan rindang yang meneduhkan.
BACA JUGA:Kota Lama Surabaya, Destinasi Wisata Sejarah yang Ramah Disabilitas
Benteng ini sering digunakan untuk acara budaya hingga pemotretan prewedding.
Bagi masyarakat Ngawi, benteng Van Den Bosch bukan sekadar bangunan tua.
Benteng ini adalah simbol perjalanan panjang dan sejarah pada masa penjajahan.
Benteng Van den Bosch menjadi bukti bahwa sejarah tidak hanya bisa dibaca melalui buku.
Sejarah dapat dirasakan langsung pada dinding, lorong, dan suasana masa lalu yang dinikmati pada masa kini.
Artikel ini ditulis oleh Cahya Fitra Sava Ardhiani, Mahasiswa Magang di Memorandum
Sumber:


