People Power Pati Hadang Arogansi Bupati
Aris Setyoadji S.Sos--
Bupati Pati, Sudewo, mungkin mengira rakyatnya akan diam saat pajak dinaikkan. Tapi ia keliru besar. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen bukan sekadar angka di atas kertas — ini adalah bom waktu yang meledak di tengah rakyat yang sedang berjuang bertahan hidup.
Dalam logika sederhana, pajak adalah urat nadi pembangunan. Tapi dalam realita Pati, pajak adalah beban yang bisa menenggelamkan rakyat kecil. Petani, pedagang pasar, pemilik warung, hingga buruh bangunan, semua ikut menanggung.

Mini Kidi--
Lahan yang dulunya menjadi sumber penghidupan, kini terasa seperti jerat yang memaksa mereka membayar lebih, sementara penghasilan tak bertambah. Efeknya? Perputaran uang di desa melambat, daya beli turun, dan potensi kredit macet di bank meningkat.
Alih-alih mengedepankan empati, Bupati Sudewo malah menantang rakyatnya: “Jangankan 5.000 orang, 50.000 pun saya tak gentar.”
Sebuah kalimat yang lebih pantas keluar dari mulut penguasa otoriter, bukan pemimpin daerah yang dipilih lewat suara rakyat. Ucapan itu menjadi bensin yang menyulut bara people power — semangat perlawanan rakyat yang terakhir bergema besar pada 1998.
BACA JUGA:Pasca Demo, Bupati Rio Tegaskan Komitmen Terhadap Keterbukaan dan Demokrasi di Situbondo
Gelombang protes pun datang dari segala arah: unjuk rasa di jalan, hujatan di media sosial, kritik tajam dari berbagai tokoh, bahkan teguran langsung dari Gubernur Jawa Tengah. Sudewo mungkin mengira dirinya kebal, tapi tekanan itu akhirnya memaksanya bertekuk lutut. Kenaikan PBB-P2 dibatalkan.
Namun, mundurnya kebijakan ini hanyalah penarikan rem darurat. Keretakan kepercayaan sudah terjadi. Warga Pati kini tahu bahwa kekuatan mereka, jika bersatu, bisa membalikkan keputusan bupati. Dan Sudewo, mau tidak mau, harus belajar bahwa memimpin bukan berarti memerintah semaunya.
Jika ia benar-benar ingin memperbaiki keadaan, langkahnya tidak cukup berhenti pada pencabutan kebijakan. Ada pekerjaan rumah besar:
Membuka ruang dialog publik yang nyata, bukan sekadar formalitas, untuk membicarakan ulang arah kebijakan pajak.
Menyusun kajian transparan tentang kebutuhan dan kemampuan bayar warga, lalu mempublikasikannya.
Mengatur skema bertahap jika kenaikan memang dibutuhkan, sambil melindungi warga miskin dari beban berlebih.
BACA JUGA:Ratusan Atlet Blitar Demo Tagih Janji Bupati Soal Reward dan Dana Pembinaan Cabor
Mengubah cara komunikasi politiknya, dari gaya menantang menjadi gaya mendengar.
Kasus ini menjadi pengingat keras: kekuasaan tanpa empati akan berakhir di jalanan, dihadang oleh rakyat yang marah.
People power Pati sudah membuktikannya. Pertanyaannya sekarang, apakah Bupati Sudewo akan belajar dari kekalahan ini, atau justru menunggu gelombang berikutnya untuk kembali menerjangnya?
Sumber:



