umrah expo

Menuju 2026: Sertifikat Tanah Lama Tidak Lagi Berlaku

Menuju 2026: Sertifikat Tanah Lama Tidak Lagi Berlaku

Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--

Banyak orang merasa aman karena tanahnya sudah “punya surat” sejak puluhan tahun lalu. Girik, petuk landrente, letter C, kekitir, hingga verponding Indonesia masih disimpan rapi sebagai bukti kepemilikan.

Namun mulai 2 Februari 2026, semua rasa aman itu bisa berubah menjadi persoalan serius jika tidak segera ditindaklanjuti. Negara tidak lagi mengakui dokumen-dokumen tersebut sebagai dasar kepemilikan hak atas tanah.

Selama ini, banyak sertifikat tanah yang terbit pada periode 1961 hingga 1997 berdiri tanpa peta kadastral yang jelas. Batas tanah tidak tergambar secara pasti, titik koordinat tidak tercatat secara presisi, dan inilah yang membuatnya sangat rawan sengketa.

Dalam kondisi seperti ini, satu bidang tanah bisa diklaim oleh dua orang dengan sama-sama merasa memiliki bukti yang sah. Pemerintah menilai, jika situasi ini dibiarkan, konflik agraria tidak akan pernah selesai.

BACA JUGA:Kepak Garuda di Tengah Duka

BACA JUGA:Viral Tanpa Izin: Bahaya di Balik Rekaman CCTV


Mini Kidi--

Mulai 2026, bukti tanah adat dan surat-surat lama itu hanya akan dipandang sebagai petunjuk lokasi, bukan lagi sebagai bukti hak.

Artinya, kekuatan hukumnya sangat lemah jika suatu hari terjadi sengketa. Negara hanya akan mengakui alas hak seperti Akta Jual Beli, Akta Waris, atau Akta Lelang sebagai dasar untuk menerbitkan Sertifikat Hak Milik. Di sinilah waktu menjadi sangat menentukan.

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 sebenarnya sudah memberi masa transisi yang cukup panjang. Pemilik tanah bekas hak adat diwajibkan mendaftarkan tanahnya paling lambat lima tahun sejak aturan itu berlaku.

Jika lewat dari batas waktu tersebut, surat-surat lama yang dimiliki tidak lagi sah sebagai bukti kepemilikan, melainkan hanya menjadi petunjuk dalam proses pendaftaran.

Bahkan surat keterangan dari desa, lurah, atau camat pun hanya dianggap sebagai petunjuk administratif, bukan sebagai bukti hak.

Masalahnya, tidak semua pemilik tanah memahami dampak hukum dari perubahan ini. Sebagian masih merasa bahwa karena tanah itu diwariskan turun-temurun, maka secara otomatis akan tetap aman.

Padahal dalam sistem hukum pertanahan modern, kepastian hak hanya diberikan melalui sertifikat yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional. Tanpa itu, tanah yang selama ini dianggap aman justru berada dalam posisi paling rentan.

Catatan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk mengingatkan bahwa waktu sedang berjalan. 2026 bukan sekadar angka, tetapi batas kepastian hukum.

Ketika batas itu terlewati, risiko sengketa akan jauh lebih besar, nilai tanah bisa turun drastis, dan posisi pemilik bisa menjadi sangat lemah di mata hukum.

Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga warisan, tempat tinggal, dan masa depan keluarga. Mengabaikan legalitasnya sama saja dengan membiarkan masa depan itu berada di atas kertas yang rapuh.

Karena itu, sebelum sengketa datang tanpa diundang, langkah paling bijak adalah memastikan bahwa hak atas tanah benar-benar diakui negara, bukan hanya diakui oleh kebiasaan

Sumber:

Berita Terkait