“Insya Allah, saya tidak meninggalkan kebencian jika ada pola-pola main belakang dalam politik. Namun, saya memang bukan tipe yang bisa diam jika ada kecurangan. Saya perjuangkan dulu apa yang bagi saya hak pemilih. Jika sudah berhasil, ya sudah. Saya tinggal merangkul siapapun yang jadi partner jika sama-sama lolos ke senayan. Saya kira di era keterbukaan informasi, jika seseorang bijak, pasti ia belajar mengambil hikmah,” bebernya.
“Pasti saya menjaga terbentuknya politik adem, aman damai tentrem. Tapi hal ini tentu tidak bisa saya lakukan sendiri, melainkan dari banyak pihak juga harus mendukung hal tersebut. Tidak perlu-lah menggunakan buzzer-buzzer hanya membuat framing publik. Toh nanti ketahuan juga belangnya. Daripada melakukan hal yang sia-sia, lebih baik lakukan realita kebaikan saja,” katanya.
Di akhir, aktivis yang dikenal sebagai motivator dan novelis tersebut, juga menyinggung beratnya Amanah.
“Politik jangan sampai sebatas mencari sebuah jabatan atau posisi, tapi saya kira amanah itu berat. Dipercaya masyarakat, itu bukan sebuah prestise, melainkan justru itulah perjuangan sesungguhnya. Saya disini semakin menyadari itu, ketika saya alami kejutan dalam pemilu 2024 ini. Dan saya yakin, ini bentuk Allah SWT menunjukkan pada saya agar saya selalu jujur dan tetap fighter menunjukkan pada pemilih, bahwa saya punya komitmen dan idealisme.”
“Insya Allah proses saya menuju senayan, adalah perjuangan yang asli perjuangan. Ini bukan soal jabatan atau kewenangan belaka, tapi ini soal suara hati pemilih. Dan saya Insya Allah tak ada lain selain ingin memberikan kado terindah untuk mereka. Insya Allah tidak terbersit pikiran saya untuk mendustai mereka dengan melakukan rekayasa apapun.”
Secara lugas, pemilik postur tinggi semampai tersebut berulang kali disebut warga, lebih cantik dari foto surat suara.
“Ada aja yang bilang cantikan aslinya. Tapi saya sih berpikir enggak kok. Ini bukan soal cantik asli atau cantik foto. Tapi ini soal apa makna cantik sesungguhnya. Yaitu sebuah keramahan, kejujuran, keaslian dalam bersikap, kesederhanaan, itu lah potret cantik yang asli. Inner beauty yang asli. Apalagi jika bisa berbicara dengan menunjukkan kecerdasan, ketegasan, dan keteguhan berprinsip, maka akan semakin kuat pesona cantiknya.”
“Sejauh ini, saya bersyukur banyak mengisi seminar dengan mengajak adek-adek untuk fokus karya, jangan fokus mikir fisik. Tidak mudah lho, mengajak orang berpikir menghargai karya, jadi ayolah jangan dirusak dengan membangga-banggakan beauty privilege. Toh, cantik itu fisik itu tidak ada habisnya. Apalagi di Jatim, bu Arumi Bachsin, cantiknya kayak gimana. Tapi beliau humble dan tidak menjadikan cantiknya sebagai value diri. Nah, itu yang perlu kita teladani. Tidak ada kan, beliau menunjukkan, terimakasih ya sudah memilih pak Emil karena punya istri cantik seperti saya?,” jelas Ning Lia tertawa renyah.
Tak heran, kalimat tegas dari ibu yang ayu-nya awet muda tersebut sangat mungkin dipengaruhi dua sosok yang melekat padanya. Yaitu sosok Khofifah Indar Parawansa dan KH. Masykur Hasyim, mantan Komandan Banser Jatim yang dikenal sebagai singa podium. (*)