Oleh: Dahlan Iskan
Dalam hal kemudahan mencari visa Taiwan juaranya. Akalnya paling sehat. Tidak perlu ke kedutaan besar --yang Taiwan memang tidak punya. Tidak perlu ke agen perjalanan. Bahkan tidak perlu meninggalkan paspor di lokasi pengurusan visa.
Memang tidak perlu ke lokasi mana pun. Cukup lewat internet. Apalagi bagi yang sudah punya visa Amerika Serikat. Atau visa Eropa (Sengen). Atau visa Jepang. Mudahnya luar biasa.
Kita tinggal mengisi beberapa pertanyaan di internet itu. Semua pertanyaan ada di lembaran itu. Tidak perlu klik untuk masuk ke menu lain. Lalu ada pertanyaan: apakah sudah punya visa salah satu dari tiga negara tadi.
Saya punya tiga-tiganya. Saya pilih saja yang Amerika. Klik. Lalu saya diminta memasukkan nomor visa Amerika itu. Klik. Selesai. Suruh tunggu sebentar. Dalam waktu sekejap muncul tanda di layar internet: visa Anda disetujui.
Yang paling saya puji adalah penggunaan akal sehatnya. Bahwa orang yang sudah punya visa Amerika pastilah sudah lolos screening. Demikian juga yang sudah punya visa Jepang, Eropa, dan Inggris Raya. Pasti sudah melewati berbagai penelitian dan penyelidikan.
Untuk apa lagi masih ditanya banyak hal. Dan dimintai banyak persyaratan. Mengurus visa masuk ke empat negara tadi luar biasa sulitnya. Maka kalau sudah punya visa negara tersebut untuk apa lagi harus lewat proses njelimet.
Visa India kini juga sudah bisa diurus lewat internet. Disebut e-Visa. Yang penting bayar. Kian cepat kian mahal. Yang tercepat 2x24 jam. Biayanya: Rp 1,2 juta. Turki juga memberikan pelayanan visa di internet. Demikian juga beberapa negara lainnya.
Kini kian banyak negara yang menyerahkan urusan visa ke 'kontraktor' tepercaya. Agar tidak lagi membuat dan menambah kesibukan kedutaan masing-masing. Yang saya puji dari Indonesia adalah proses masuk ke Indonesia-nya. Yang tidak perlu lagi harus mengisi formulir imigrasi.
Begitu mendarat cukup menyerahkan paspor di loket imigrasi. Lalu diperiksa --untuk diizinkan masuk atau tidak. Dalam hal kesederhanaan proses itu kita sudah mengalahkan Singapura. Sampai sekarang kita masih harus mengisi formulir imigrasi itu sebelum masuk ke Singapura. Kuno sekali.
Suatu saat saya bangga luar biasa --menjadi bangsa Indonesia. Hari itu ada penumpang bule di sebelah saya. Begitu akan mendarat di Jakarta ia panggil pramugari. Untuk minta formulir imigrasi.
Sebelum pramugari menjawab saya sudah menjelaskan padanya: tidak perlu lagi isi formulir. Dada saya rasa ingin meledak --saking bangganya. Saya juga bangga pada Taiwan. Yang memilih menggunakan akal sehat itu. Itu yang saya senang. Akal sehat selalu dipakai.
Meksiko lebih pinter lagi. Bagi yang sudah punya visa Amerika tidak perlu lagi mengurus visa Meksiko. Ke internet pun tidak perlu. Langsung saja datang ke Meksiko. Karena itu saya bisa keluar-masuk Meksiko. Setiap kali berada di Texas selatan saya masuk ke negara yang kini lagi sulit itu --khususnya sulit menjual pesawat kepresidenannya.
ALMO, Presiden Meksiko sekarang, sangat marah sejak masih kampanye dua tahun lalu. Marah kepada presiden saat itu: kok membeli pesawat kepresidenan yang begitu besar. Yakni Boeing 787. Yang harganya USD 300 juta lebih.
"Itu tidak cocok untuk Meksiko. Semua kota di Meksiko bisa dijangkau dalam 2 jam penerbangan," ujar ALMO —singkatan dari Andres Manuel Lopez Obrador. Begitu terpilih sebagai presiden ia pun langsung jual itu pesawat.
Tidak laku-laku. Padahal sudah ditawarkan jual rugi: hanya USD 179 juta. Pernah ALMO menawarkannya langsung ke Presiden Donald Trump --yang ia idolakan dan ia ikuti jejaknya.
Pun Trump tidak perlu bayar pakai uang. Cukup dibayar dengan barang apa pun yang diperlukan rakyat miskin Meksiko. Sayangnya Trump pun tidak mau membelinya. Bahkan merespons penawaran itu pun tidak.
Pesawat itu pun terus memakan biaya --pemeliharaan dan sewa hanggar. Mubadzir. AMLO sendiri selalu naik pesawat komersial. Saya juga pernah ke Mexico City dan Guadalajara tanpa visa --karena sudah punya visa Amerika itu.
Dulu untuk ke Taiwan tetap harus mengurus visa. Yang menerbitkan visa adalah kantor perwakilan dagang Taiwan di Jakarta --fungsinya mirip kedutaan. Taiwan tidak punya kedutaan di Indonesia karena kita menganut prinsip One China Policy --seperti umumnya negara lain di dunia.
Kini visa itu sudah bisa diurus di internet. Relevansi kedutaan memang sudah sangat menurun. Bahkan Presiden Donald Trump bisa mengerjakan sendiri sebagian pekerjaan duta besarnya --dengan hanya menggunakan Twitternya. (*)