Catatan: Eko Yudiono, wartawan Memorandum
SURABAYA, MEMORANDUM- Timnas Indonesia U-17 melakoni laga terakhir Grup A Piala Dunia U-17 2023 di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Kamis, 16 November silam. Skor akhir 1-3 untuk Maroko membuat mimpi Arkhan Kaka Putra Purwanto cs untuk lolos ke babak 16 besar sirna.
Dari tiga kali laga, Indonesia meraih 2 poin, masing-masing seri 1-1 melawan Ekuador dan imbang 1-1 ketika bertemu Panama.
Ribuan penonton yang memadati Stadion GBT, Surabaya tertunduk lesu. Tidak terkecuali, Raihan, siswa kelas VI di kawasan Menganti. Ia datang bersama kedua orangtuanya. Raihan memang termasuk gila bola. Semua pemain yang berkompetisi di Liga-Liga ternama Eropa hafal di luar kepala.
Bahkan, ketika Indonesia kalah, Raihan sudah bisa memberikan sedikit catatan kekurangan pemain Timnas U-17 ketika melawan Maroko. "Kurang semangat. Juga tidak punya mental juara," katanya sembari sesenggukan karena Timnas Indonesia gagal melangkah ke babak selanjutnya.
BACA JUGA:Komdis Asprov PSSI Jatim Jatuhkan Sanksi dan Denda kepada Arek Suroboyo
Apa yang dikatakan Raihan sejatinya mewakili puluhan juta anak-anak Indonesia yang bungah ketika Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-17 di level kelompok umur.
BACA JUGA:Dibuka Bupati Kediri, Liga 3 Kapal Api PSSI Jatim 2023 Resmi Bergulir
"Meski di level kelompok umur, namanya tetap saja Piala Dunia alias World Cup dan tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Sebab, efek Piala Dunia juga membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa terpacu untuk menjadi bagian Timnas Indonesia," ungkap jurnalis senior Abdul Muis atau karib disapa Cak Amu yang sempat berbincang dengan penulis usai gelaran Piala Dunia U-17 2023. Yang bersangkutan pernah meliput gelaran Piala Dunia senior Korea-Jepang 2002 silam.
Apa yang dikatakan Cak Amu memang bukan sekadar isapan jempol. Piala Dunia U-17 yang baru saja berakhir di Indonesia jelas mempunyai dampak positif bagi perkembangan sepak bola Indonesia.
Dampaknya antara lain, para pemain muda Indonesia bisa belajar dari pemain-pemain dari Benua Asia, Eropa hingga Afrika.
Bukan saja belajar bagaimana bermain sepak bola kolektif. Kerja sama tim. Tentunya juga belajar pengendalian emosi di lapangan.
Sebab, sepak bola bukan hanya masalah teknik dan skill bermain di lapangan semata. Melainkan juga ada aspek-aspek lain yang tidak kalah penting. Selain fair play tentunya yang menjadi kitab suci FIFA.
Tim Jerman misalnya. Mereka akhirnya menjadi yang terbaik karena punya mental juara. Der Panzer muda menunjukkan bagaimana mental bermain mereka menjadi salah satu faktor penting dan senjata andalan. Ketenangan dan mental juara mereka bisa menjadi contoh agar pemain-pemain muda Indonesia tidak gampang menyerah hingga peluit akhir pertandingan.
Sebab, setelah unggul 2-0 atas Prancis, skor justru disamakan menjadi 2-2. Kartu merah yang didapat pemain Jerman jelas mengurangi keseimbangan tim. Namun, Jerman muda menunjukkan kepada dunia mental juara.