Tepergok Antar Selingkuhan, Kepala Terancam Dicopot dari Tubuh
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Si Sulung Toni vs Titin, sebut saja Hadak, terbakar emosi. Dia spontan turun dari motor dan nyamperin ayahnya. Tanpa ba-bi-bu, juga a-i-u-e-o, Hadak dengan sekuat tenaga mendaratkan pukulan ke wajah Toni. Des!
Hadak hendak minta penjelasan Toni soal siapa perempuan tadi. Tapi, niat tersebut diurungkan setelah Nenen melindungi Toni dengan mendekap lelaki agak ganteng itu. Sikap Nenen ini sudah sangat jelas menunjukkan status perempuan ini.
Hadak mundur selangkah dan meraih krah baju Toni. Diangkatknya dengan kasar disertai kalimat ancaman, “Jangan coba-coba pulang ke rumah kalau tidak ingin kepala ini copot dari tubuhnya.”
Toni tak berkutik. Dia tak melawan kekerasan yang dilakukan si sulung. Hanya wajahnya memucat dan tubuhnya gemetaran. Tubuh nggreweli tadi lantas didorong keras oleh Hadak hingga terjengkang ke aspal depan rumah.
Sejak itu Toni benar-benar tidak berani pulang. Menelepon Titin atau anak-anak juga tidak. “Saya sempat marah kepada Hadak yang berlaku terlalu kasar terhadap ayahnya,” tutur Titin, yang menambahkan bahwa dia juga beberapa kali mencoba menghubungi suaminya, tapi tidak direspons.
Beruntung Titin bekerja sebagai guru di sebuah SMP negeri, jadi tidak ada masalah pasca ditinggal Toni. “Saya juga beberapa kali mendatangi tempat tinggal Bang Toni dan Nenen di Driyorejo, tapi rumahnya selalu tertutup,” aku Titin.
Dijelaskan pada awalnya Hadak menolak keras ketika diminta Titin menunjukkan tempat tinggal ayahnya vs Nenen. Tapi karena Titin terus-menerus mendesak, disertai tangis memohon, hati Hadak luruh.
Walau begitu, Hadak hanya bersedia menunjukkan rumah itu dari jauh. Dari pos kamling di ujung jalan, “Alasan anak saya, kalau bertemu ayah, emosinya bisa meledak hebat dan berbuat kasar.”
Rumah tersebut kelihatan kotor. Tidak terurus. Tampak sudah lama tidak ada yang tinggal di sana dalam waktu lama. Sekali ditunjukkan Hadak, Titin masih mencoba beberapa kali lagi menemui Toni atau Nenen. Tapi, tidak pernah berhasil.
Rumah mereka selalu sepi. Tertutup rapat. Tetangga kiri-kanan tidak ada yang tahu ke mana kepergian pemilik rumah. “Kami tidak pernah tahu. Terakhir kami melihat Pak Toni dipukul seorang pemuda di depan rumah. Kabarnya itu anaknya. Urusan keluarga. Ya sudah, kami tidak ingin terlibat. Bisa ruwet,” kata para tetangga hampir senada menjawab demikian, sebagaimana ditirukan Titin.
Titin juga pernah mencari Nenen di tempat kerjanya. Tapi terlambat. Nenen sudah keluar tanpa pamit. Bosnya, juga beberapa temannya, tidak tahu ke mana Nenen pergi. “Tidak pamit. Dia bahkan meninggalkan utang kepada teman-teman,” kata salah satu teman Nenen yang ditemui Titin.
Titin putus asa. Pasrah. Tahun-tahun pun berlalu. “Sudah beberapa tahun kami tidak pernah kontak. Entah di mana Bang Toni. Kami sudah hidup tenang. Saya dan anak-anak sudah bisa melupakan masa lalu itu,” kata Titin.
Pertemuan dengan Titin tadi terjadi sekitar empat tahun lalu. Sampai kini tidak pernah ada lagi kabar soal Toni. Dia tidak pernah menghubungi Memorandum, istri, atau anak-anaknya.
Jujur, Memorandum nyaris melupakan Toni. Bayangannya pun tidak pernah melintas. Andai tidak ada telepon dari dia, sekitar dua pekan lalu, Memorandum mungkin sudah menganggap Toni ter-delete dari muka bumi. (bersambung)