SURABAYA, MEMORANDUM - Belakangan ini heboh di media sosial aksi puluhan siswi SMP di sejumlah daerah di Jatim yang melukai dirinya dengan benda-benda tajam.
Salah satunya peristiwa 76 siswi SMP di Magetan yang kompak melakukan self harm dengan cara menyayat pergelangan tangan mereka sendiri.
Self harm merupakan tindakan melukai diri sendiri. Diduga, perilaku nekat puluhan siswi tersebut karena asik mengikuti tren TikTok barcode Korea.
Fenomena tak masuk akal itu lantas direspons tokoh perempuan milenial asal Surabaya, Dr Lia Istifhama MEI, Jumat, 27 Oktober 2023.
BACA JUGA:Heboh Puluhan Pelajar Nekat Sayat Tangan, Ini Kata Dinkes Magetan
Menurutnya, fenomena ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi semua pihak untuk menjaga karakter mental anak bangsa. Terutama meminimalisir tren negatif hanya demi kepentingan konten medsos.
“Perkembangan moral anak bangsa tak terlepas dari tanggung jawab kita semua. Terutama para orang tua yang seharusnya mampu menjaga kelangsungan karakter positif mereka,” kata Lia Istifhama.
“Apalagi, jika moral anak-anak dan remaja mudah terbawa tren atau demi konten sosial media, yang kemudian terjadi sebuah perilaku yang tidak memiliki manfaat, melainkan justru masalah,” sambung dia.
BACA JUGA:Urusan Asmara hingga Masalah Keluarga, Jadi Alasan Puluhan Siswa SMPN Magetan Nekat Sayat Tangannya Sendiri
Aktivis Fatayat Jatim itu menjelaskan tentang pentingnya membangun pikiran positif yang tidak terjebak toxic positivity.
“Toxic positivity adalah sebuah obsesi untuk selalu memiliki pikiran positif dan menolak emosi negatif seperti sedih, kecewa, dan takut, walaupun dalam keadaan buruk. Padahal ini justru tidak benar,” jelasnya.
Sebab, menurut Ning Lia, adalah manusiawi jika manusia ingin menangis saat merasa rapuh. Lalu kecewa saat menghadapi sesuatu hal yang tidak sesuai keinginannya. Atau bahkan ketakutan ketika menghadapi kesalahan.
BACA JUGA:Sebanyak 76 Siswa SMP di Magetan Nekat Sayat Lengan dengan Pecahan Kaca
Hal ini sebagaimana manusia setiap insan yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Yang artinya, jauh dari kata kesempurnaan. Mungkin, kata Lia, pemahaman demikian yang perlu ditanamkan ke pemikiran generasi muda.
“Jadi harus mampu berdamai dan menerima kekurangan diri. Jangan memaksa kuat jika sedang lemah, tapi coba lalui setiap masalah dengan cara menyelesaikan satu per satu. Jangan kemudian mencari solusi dengan mencari kelegaan diri melalui panjat sosial atau mengikuti tren sosial media semata,” tutur calon DPD RI Jatim itu.
Keponakan Gubernur Jatim Khofifah itu melanjutkan, anak-anak dan remaja harus diyakinkan pada prinsip hidup harus dihadapi bukan dibebani. Terlebih beban mengikuti tren sosial media.
BACA JUGA:Geger, Pelajar Magetan Bawa Senjata Laras Panjang
Di sisi lain, mereka harus didukung untuk memiliki karakter tangguh.
“Kita semua kan pernah menjadi anak-anak, pernah remaja, jadi harus memahami bahwa pertumbuhan psikis itu tergantung orang di sekitar. Inilah tugas kita semua, yaitu mendampingi anak-anak dan remaja saat ada masalah, dengan memberikan motivasi bahwa setiap masalah bisa diselesaikan,” pungkasnya.(bin)