Cinta pada Pandangan Pertama Mengalahkan Segalanya (1)

Senin 06-01-2020,08:39 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Kenal saat SMP lewat Sahabat Pena Majalah Remaja HAI Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Seorang lelaki paruh baya duduk sendirian di salah satu sudut Wana Wisata Air Panas Padusan, Pacet, Mojokerto. Di bawah pohon cemara. Bukan kursi biasa, melainkan kursi roda. Kakinya terjulur, tapi hanya sebatas lutut. Tidak lama kemudian datang perempuan paruh baya juga membawa secangkir kopi. Pemandangan itu tampak biasa-biasa saja. Memorandum yang menggelar tikar untuk makan bersama keluarga tertarik kepada mereka pada kejadian selanjutnya. Si perempuan, sebut saja Tutik, mengajak bicara sang suami, sebut saja Waskito, dengan bahasa yang aneh. “Maa… aga… ama…” kata Tutik. Berat dan tersendat-sendat. Entah apa arti kata-kata itu. Memorandum hanya bisa menduga bahwa dia minta maaf karena agak lama. Memorandum menawari mereka ikut bergabung makan bersama, namun dengan halus ditolak. Mereka beralasan barusan makan di warung dekat lokasi parkir mobil. Sambil makan, perhatian Memorandum tidak bisa lepas dari pasangan tadi. Keduanya tampak mesra. Harmonis. Kekurangan pada cara wicara Tutik sama sekali tidak mengurangi ketintiman mereka. Canda ria terlihat dan terdengar hampir sepanjang waktu. “Wah, mesra banget. Penuh canda dan tawa,” kata Memorandum setelah kami saling memperkenalkan diri. “Hidup ini memang lucu, Mas,” kata Waskito. “Ya… u’u,” sambung Tutik sambil tersenyum dan merangkul suaminya. Edan. Mesra banget. Seperti remaja belasan tahun. Betul-betul bikin iri. Peristiwa tadi terjadi Selasa (31/12), akhir tahun lalu. “Jadi ngiri lihat kemesraan kalian,” sela istri Memorandum sambil meniru-niru memeluk Memorandum. Agak canggung, memang, namun sungguh terasa hangat dan menjadikan hati tenteram. Sungguh. Hem. “Resepnya apa sih?” Mereka tertawa. Bersamaan. Kemudian saling pandang dan mendekatkan wajah. Menempelkan ujung hidung masing-masing disambung kecup pipi kanan dan kiri. “Tidak ada resep. Semua berawal dari kesombongan dan ketidakjujuran kami,” kata Waskito. “Kesombongan dan ketidakjujuran? Masa sih?” “Ceritanya panjang. Amat panjang. Tapi kalau kalian bersedia mendengarkan, kami tidak keberatan berbagi kisah. Mungkin bisa dijadikan pelajaran.” Kami mengangguk bersamaan. Merapatkan tempat duduk. Saling peluk pinggang. Dan, memusatkan perhatian kepada Waskito-Tutik. Tiba-tiba terdengar anak kami pamit mau berendam air panas. Kami mempersilakan. Menurut Waskito, semua berawal pada 1970-an. Waktu itu dia masih duduk di bangku SMP. Waskito berlangganan majalah Hai, yang saat itu memang salah satu majalah remaja paling top. “Kami sama-sama menjadi anggota sahabat pena,” kata Waskito sambil melirik Tutik dan merapatkan pelukan. Kami pun melakukan hal yang sama. Merapatkan pelukan. Waskito dan Tutik saling berkirim surat. Intens. Lebih intens dibanding dengan saling balas dengan sahabat pena-sahabat pena lain. “Jujur aku naksir Tutik,” kata Waskito. “A’u ua,” imbuh Tutik. Mereka kembali saling pandang. (bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait