Dimintai Restu Menikah di Kanada vs Teman Kuliah sang Kakak
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Fandi memergoki Rio keluar rumah berpakaian perempuan sepulang dari Blitar. Waktu itu sekitar pukul 22.00. Dari mobilnya yang belum sempat masuk garasi, dia melihat bungsunya itu meloncat dari jendela kamar.
Fandi hendak berteriak menegur, tapi tidak terburu. Sosok Rio hilang ditelan gelap malam dan rimbun pepohonan taman di samping rumah. Fandi segera masuk rumah dan membangunkan istrinya.
Ana ditanya di mana Rio. Perempuan bertemperamen lembut itu menjawab bahwa Rio sedang tidur. Di kamar. Fandi lantas mengajak Ana menuju kamar Rio, setelah sebelumnya membangunkan Oma Bunga.
Pintu kamar digedor berkali-kali tapi tidak ada tanggapan. Fandi kemudian nekat mendobrak pintu kamar hingga roboh. Di dalamnya terlihat kosong. Di atas tempat tidur berserakan beberapa potong pakaian perempuan. Di meja belajar berserakan beragam kosmetik dan peralatan rias.
Fandi shock. Di jatuh terduduk. Lemas. Ana menjatuhkan diri sambil memeluk Fandi. Oma Bunga berdiri kaku di bawah mistar pintu kamar. Dia memandangi anak dan menantunya dengan tatapan kosong.
“Kami sudah menasihati Adik. Tapi, dia tidak mau berubah. Beberapa kali dia malah mengancam bunuh diri bila Papa terus memaksanya menjadi anak seperti kemauan Papa,” kata si sulung.
“Sebenarnya kami suda lama tahu. Tapi kami tidak bisa apa-apa. Dia sudah dewasa dan berhak atas pilihan hidupnya. Apalagi selama ini Mama dan Oma seperti mendukung pilihan Adik. Kami bingung,” tambah anak nomor dua.
Si sulung menambahkan bahw dia pernah memergoki Rio bermesraan dengan pacarnya. Teman kerja si sulung. Sesama cowok. Si sulung menegurnya dengan keras. Tapi, apa reaksi Rio?
“Saya diancam mau dibunuh seandainya memberi tahu Papa. Jujur saya bingung. Andai dulu Papa tegas melarang Mama dan Oma memperlakukan Adik, saya kira tidak begini jadinya. Maafkan aku, Pa.”
Malam itu juga Fandi menelepon Rio. Tidak diangkat. Beberapa saat kemudian Rio justru menelepon mamanya. Dia berkata tidak akan pulang karena seisi rumah sudah tidak ada yang mendukungnya.
Rio pamit hendak ke luar negeri bersama pacarnya. Ke Kananda, karena di sana tidak ada yang menghalangi pilihan hidupnya. Rio juga minta restu menikah di sana, meski yakin papanya tidak akan merestui.
“Hati saya hancur,” gumam Fandi.
Sambil menangis sesenggukan, Ana minta maaf kepada suaminya. Demikian juga, Oma Bunga. Dia minta maaf kepada menantunya karena dialah yang sejatinya membetuk kejiwaan Rio hingga menjadi seperti ini.
“Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa yang harus saya lakukan?” tanya Fandi. Suaranya berat. Seperti ada beban seberat gaban menggelantung di lehernya dan menjerat pita suaranya. (habis)